Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kimono Jepang Rasa Banyumas

Kompas.com - 14/04/2015, 07:01 WIB
Yoga Sukmana

Penulis


KOMPAS.com - “…Kita menempa kualitas diri dan menjaganya agar tak pernah berubah. Dan saat sesuatu berjalan selayaknya, kita setia, patuh pada tata cara. Lihatlah, sesuatu yang dimulai dari dalam, tak akan luntur terkikis oleh waktu. Inilah jiwa Indonesia, jiwa yang menciptakan mahakarya.”

Pernah  mendengar kalimat di atas? Ya, tepat, kalimat tersebut merupakan penggalan kata-kata dalam iklan rokok. Namun tulisan ini tak akan membahas sedikitpun soal rokok, tapi mengulas salah satu warisan bangsa, yang terbukti tak luntur terkikis waktu, karena dimulai dari dalam, melalui kesabaran dan ketekunan, yaitu batik.    

Kain khas dengan berbagai motif di Indonesia ini sudah menjadi kebanggaan bangsa. Seiring dengan perkembanga, batik pun tidak hanya lekat dengan nuansa tradisional. Lihat bagaimana desainer fashion dunia yang mengadaptasi batik Indonesia seperti yang dipamerkan desainer Belgia Dries Van Noten Paris Fashion Week 2010 lalu. Atau, perancang Amerika Nicole Miller yang memamerkan batik melalui Resort Collection 2009.

Tak cuma dipamerkan, batik kini sudah menjadi gaya hidup. Beberapa artis Hollywood sempat “tepergok” mengenakan busana dengan motif batik. Seperti Lenka, Adele, dan pencabik bas  U2 Adam Clayton. Bahkan, belum lama ini musisi nyentrik asal Amerika Selatan Carlos Santana mengenakan batik dalam salah satu video klipnya berjudul “Into The Night”.

Di tengah semakin berkembangnya batik menjadi gaya hidup fashion dunia, para pengrajin batik dalam negeri  juga mulai melihat celah baru, kain serta motif tradisional Indonesia ini rupanya bisa berpadu dengan pakaian tradisonal negeri matahari terbit Jepang, ya kimono.

Adalah para pengrajin batik Desa Papringan, Banyumas, Jawa Tengah, yang kini berusaha  mem-banyumas-kan Jepang, kalaulah boleh dibilang begitu. Melalui berbagai event pakaian di Jepang sekitar bulan Mei 2015 nanti, mereka akan memperkenalkan 15 kimono rasa Bayumas.
   
Kenapa disebut kimono rasa Banyumas? Pernah membayangkan batik disulap jadi kimono? Nah, itulah yang saat ini sedang diupayakan para perajin batik Desa Papringan. Motif-motif batik khas Banyumas seperti motif babon angrem, sungai serayu, dan jahe puger  menjadi motif dasar kimono jepang.

Salah satu kelompok perajin batik di Desa Papringan, Kelompok Usaha Bersama Pringmas (KUB Pringmas), menjadi motor penggerak “hijrahnya” batik Banyumas ke negeri sakura. Pada Mei 2015 nanti, 15 kimono rasa Banyumas siap dipamerkan di Jepang.  

KOMPAS.com/YOGA SUKMANA

Saat Kompas,com mendatangi Sentra Batik Banyumasan di Desa Papringan, Rabu (8/4/2015), Ketua KUB Papringan Siarmi mengatkan bahwa untuk membuat Kimono rasa Banyumas itu memerlukan 2 potong kain mori atau katun. Lama proses pembuatannya sendiri relatif berbeda-beda.

“Waktunya tergantung motifnya kaya apa dan pewarnannya. Kalau motifnya susah pasti lebih lama kalau batik tulis. Untuk kain batik tulisnya aja bisanya satu minggu baru selesai,”  kata Siarmi.

Untuk pengenalan  kimono rasa Bayumas sendiri, KUB Pringmas dibantu oleh salah satu Dosen Universitas Diponegoro yang sudah sering memperkenalkan batik-batik Indonesia di Jepang. Ia berharap, dengan diperkenalkannya kimono rasa Banyumas itu, Desa Papringan bisa lebih dikenal oleh masyarakat dunia. Apalagi, Papringan juga memiliki batik yang sangat kental akan budaya Jawanya.     

Menyapa Asia

Selain akan mempemperkenalkan batik Papringan ke Jepang, Siarmi dan kawan-kawannya di KUB Pringmas juga telah memperkenalkan batik khas Bayumasan ke Hongkong. Pada Januari 2015 lalu, mereka sudah mengirimkan 20 pakaian anak-anak dengan motif batik Banyumas ke Hongkong.

Upaya “menyapa” Asia melalui batik Papringan diharapkan terus menggema. Menariknya, meski batik Bayumasan adalah batik pedalaman (ciri khas berwarna gelap), namun nuansa batik pesisir dengan warna-warna cerah juga kini berkembang di Banyumas.

Rupanya, hal itu dilakukan para perajin batik di Desa Papringan sehingga terkesan lebih muda. Namun begitu, warna batik Banyumasan yang khas yaitu coklat atau hitam tetap menjadi daya tarik utama batik Papringan.

Saat ini kata Siarmi, di Desa Papringan terdapat sekitar 300-an perajin batik. Jumlah tersebut diakomodir oleh 4 kelompok usaha batik salah satunya KUB Pringmas. Sentra Batik Banyumasan Papringan setiap bulannya memproduksi sekitar 50-an kain batik baik itu batik tulus, cetak maupun kombinasi batik tulis-cetak.

Harga kain batik Papringan berkisar dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta, tergantung jenis batik dan kerumitan motifnya.  Siarmi bersyukur, dengan semakin dikenalnya batik Papringan, pendapatan perajin batik di Desa Papringan semakin membaik. Saat ini kata dia, 1 orang perajin batik mendapatkan upah Rp 50.000 untuk setiap kain batik.

Dengan ratusan motif batik Papringan, ia yakin potensi batik Papringan tak kalah dengan batik-batik lainnya. Apalagi kata dia, saat 2 tahun lalu Bank Indonesia memberikan bantuan berupa dana dan pembangunan showroom batik, para pengrajin tak perlu sulit-sulit menyakurkan batik buatannya.

“Batik itu kan peninggalan  kakek-nenek kita disini.  Sudah mengakar ke masyarakat Desa Papringan. Sekarang kita yang melanjutkan warisan itu, jadi kita lakukan pembaruan juga kaya pewarnaan biar ini tetap lestari dan dikenal masyarakat kalau Desa Papringan itu penghasil batik juga mas,” ucap Siarmi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com