Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/04/2015, 16:49 WIB

Oleh ADRIAN FAJRIANSYAH

Zakaria (34) cekatan mengeruk pupuk berwarna hitam pekat, seperti arang, dalam ruang pengeringan. Ia memasukkan kerukan pupuk itu satu per satu dalam karung. Sekilas tidak ada yang aneh dengan pupuk yang berbentuk layaknya tanah gembur itu.

 Bentuk pupuk itu pun mirip pupuk komersial yang dijual di pasaran. "Sebenarnya, ini pupuk yang terbuat dari limbah manusia, tetapi sudah diolah sehingga kering dan tidak berbau lagi," ujar Zakaria, petugas pada Instalasi Pengelolaan Limbah Tinja (IPLT) Banda Aceh ketika ditemui Kompas di Banda Aceh, Senin (13/4).

Instalasi yang berada di Gampong/Kampung Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, itu beroperasi sejak tahun 1996. Namun, instalasi yang berjarak sekitar 3 kilometer ke arah utara dari pusat ibu kota provinsi Aceh itu hancur dihantam tsunami pada 2004.

Instalasi itu dibangun kembali dengan sistem pengelolaan limbah terbuka dari bantuan Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2005. Instalasi itu dikembangkan dengan sistem tertutup dengan bantuan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) tahun 2007.

Kepala Seksi Bidang Persampahan IPLT Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota (DK3) Banda Aceh Hendra Gunawan mengatakan, IPLT tidak hanya menjadi tempat pembuangan limbah dari permukiman warga di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Instalasi itu menjadi salah satu alat pelestarian lingkungan di "Bumi Serambi Mekkah" pula.

Secara teknis, Hendra melanjutkan, IPLT menampung limbah warga rata-rata 30 meter kubik per hari. Melalui sistem terbuka, instalasi itu bisa memproses limbah menjadi pupuk kering. Melalui sistem tertutup, instalasi itu bisa memproses limbah menjadi pupuk kering dan gas.

Untuk pupuk, pembuatannya memakan waktu sekitar satu bulan. Proses itu menggunakan mekanisme yang sedemikian rupa sehingga limbah bisa terpisah dari cairannya. Limbah yang terpisah dari cairannya diendapkan dan dikeringkan sehingga menjadi pupuk.

Sementara itu, cairannya dibuang ke badan air dan dipastikan aman bagi lingkungan. "Pemerintah memanfaatkan pupuk ini untuk menyuburkan tanah di taman kota. Warga pun bisa mengambil gratis," ujar Hendra.

 Untuk gas, Hendra menambahkan, pembuatannya memakan waktu sekitar dua minggu. Namun, hasilnya masih terbatas, yakni hanya untuk memenuhi kebutuhan memasak dan generator di kantor IPLT. "Kami membuat gas seminggu terakhir," katanya.

Hendra menyampaikan, pupuk dan gas itu merupakan nilai tambah. Tujuan utama IPLT itu untuk meminimalkan dampak pencemaran lingkungan akibat limbah manusia. "Kami bisa mengurangi efek negatif kandung limbah jika langsung dibuang ke alam," tuturnya.

Hendra menuturkan, hal itu menjadi salah satu upaya pemerintah memberikan kenyamanan bagi masyarakat yang bermukim di Banda Aceh maupun Aceh Besar. Bahkan, pihaknya turut berusaha menjadikan tempat instalasi itu nyaman bagi masyarakat.

Pemerintah menanami berbagai jenis bunga kertas berwarna merah muda, merah, dan putih di kompleks IPLT. Mereka pun menanam berbagai jenis pepohonan, seperti cemara laut, trembesi, dan mangga. Perpaduan warna bunga dan hijau daun pepohonan itu menghiasi 65 persen dari total luas instalasi yang mencapai sekitar 2,5 hekar.

Kebersihan dan keasrian instalasi itu membuatnya tampak selayak taman. Kondisi itu menjadi daya tarik pengunjung yang ingin duduk santai atau berfoto. Bahkan, banyak pengunjung tak sadar tempat itu sebagai IPLT jika tidak membaca papan nama di pintu masuk.

Utamakan sanitasi

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com