Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Perikanan Nasional Mulai Berteriak soal "Transshipment"

Kompas.com - 04/06/2015, 13:35 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti perihal larangan alih muatan (transshipment) di tengah laut lambat laun dirasa menyusahkan oleh pengusaha perikanan tangkap nasional.

Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra, Kamis (4/6/2015). Memang kata, Dwi, saat ini para nelayan tradisional tengah berbahagia dengan aturan pelarangan transshipment. Sebab, terjadi peningkatan hasil produksi nelayan tangkap yang cukup signifikan.

Namun di lain pihak, pengusaha perikanan nasional pemilik kapal lokal mengalami penurunan produksi. Pasalnya, mereka tidak bisa mengoperasikan kapal-kapal angkut yang membawa hasil tangkapan ikan dari tengah laut ke pelabuhan perikanan.

Data produksi ATLI menunjukkan, untuk komoditas tuna saja misalnya terjadi penurunan sejak Januari lalu. Pada bulan Januari 2015, produksi tuna ATLI mencapai 1,2 juta kilogram (kg). Angka ini menurun pada Februari 2015 menjadi 976.776 kg, dan menjadi 848.411 kg pada Maret 2015. Produksi tuna terus turun pada April 2015 menjadi sekitar 628.396 kg.

Dwi mengatakan, pengusaha perikanan tangkap nasional sepakat dengan kebijakan pelarangan transshipment. Namun dia meminta Susi untuk memberikan kelonggaran bagi pengusaha perikanan tangkap nasional, untuk bisa melakukan alih muatan.

“Tapi kami minta kebijakan dari pemerintah. Kita ikut operasi dalam penangkapan. Transshipment silakan saja, tapi agar kapal angkut ini bisa beroperasi,” kata Dwi.

Kebijakan larangan transshipment dilatarbelakangi banyaknya ekspor ikan yang tidak terdata dengan baik, dan dugaan adanya praktik penangkapan ikan ilegal. Kebijakan ini diberlakukan Susi melengkapi kebijakan moratorium izin tangkap kapal eks asing.

Akibat dua kebijakan ini, produksi nelayan tradisional mengalami peningkatan. Namun di sisi lain, tidak beroperasinya kapal angkut memberikan dampak turunan. Di sentra produksi tuna Bitung misalnya, sebanyak 55 kapal angkut ikan mandeg operasi sejak pelarangan transhipment.

Semua kapal tersebut adalah milik pengusaha perikanan tangkap di bawah Asosiasi Kapal Perikanan Nasional Sulawesi Utara.

Ketua asosiasi, Rudi Waluko mengatakan, akibat tidak beroperasinya 55 kapal angkut tersebut maka pasokan ke Unit Pengolahan Ikan (UPI) melorot lebih dari 70 persen. Biasanya, kebutuhan dari 53 UPI yang ada di Bitung – tidak termasuk 7 pabrik pengalengan – sebanyak 800 ton bisa dicukupi. Namun akibat pelarangan transhipment, pasokan ikan yang masuk ke UPI hanya 300 ton.

Dari sisi produksi, hasil tangkapan ikan yang biasanya sebesar 80 ton per hari menjadi hanya 20 ton per hari. “Kehilangan 60 ton per hari satu kapal itu ada Rp 600 juta. Yang tidak beroperasi ada 55 kapal angkut,” kata Rudi.

Tak hanya itu saja, dengan tidak beroperasinya 55 kapal angkut, sekitar 2.000 anak buah kapal dirumahkan. Beberapa diantaranya sudah memilih pulang ke kampung halaman, seperti ke Pulau Jawa.

“Kami sangat mengharapkan kebijakan transshipment jangan dicabut. Karena ditakutkan ada transshipment, ikan dibawa lagi ke luar negeri. Tapi tolong diberikan perlakukan khusus alih muat bagi kapal nasional, agar bisa jalan, ABK juga bisa hidup,” tukas Rudi.

baca juga: Menteri Jonan Ogah Ditelepon Menteri Susi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Heboh Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta, Cek Ketentuannya

Heboh Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta, Cek Ketentuannya

Whats New
KB Bank Targetkan Penyelesaian Perbaikan Kualitas Aset Tahun Ini

KB Bank Targetkan Penyelesaian Perbaikan Kualitas Aset Tahun Ini

Whats New
Astra Agro Lestari Sepakati Pembagian Dividen Rp 165 Per Saham

Astra Agro Lestari Sepakati Pembagian Dividen Rp 165 Per Saham

Whats New
Ditopang Pertumbuhan Kredit, Sektor Perbankan Diprediksi Semakin Moncer

Ditopang Pertumbuhan Kredit, Sektor Perbankan Diprediksi Semakin Moncer

Whats New
Survei: 69 Persen Perusahaan Indonesia Tak Rekrut Pegawai Baru untuk Hindari PHK

Survei: 69 Persen Perusahaan Indonesia Tak Rekrut Pegawai Baru untuk Hindari PHK

Work Smart
Heboh Loker KAI Dianggap Sulit, Berapa Sih Potensi Gajinya?

Heboh Loker KAI Dianggap Sulit, Berapa Sih Potensi Gajinya?

Whats New
Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

Work Smart
Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

Whats New
Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

Whats New
Tiket Kereta Go Show adalah Apa? Ini Pengertian dan Cara Belinya

Tiket Kereta Go Show adalah Apa? Ini Pengertian dan Cara Belinya

Whats New
OJK Bagikan Tips Kelola Keuangan Buat Ibu-ibu di Tengah Tren Pelemahan Rupiah

OJK Bagikan Tips Kelola Keuangan Buat Ibu-ibu di Tengah Tren Pelemahan Rupiah

Whats New
Pj Gubernur Jateng Apresiasi Mentan Amran yang Gerak Cepat Atasi Permasalahan Petani

Pj Gubernur Jateng Apresiasi Mentan Amran yang Gerak Cepat Atasi Permasalahan Petani

Whats New
LPEI dan Diaspora Indonesia Kerja Sama Buka Akses Pasar UKM Indonesia ke Kanada

LPEI dan Diaspora Indonesia Kerja Sama Buka Akses Pasar UKM Indonesia ke Kanada

Whats New
Unilever Tarik Es Krim Magnum Almond di Inggris, Bagaimana dengan Indonesia?

Unilever Tarik Es Krim Magnum Almond di Inggris, Bagaimana dengan Indonesia?

Whats New
Simak 5 Cara Merapikan Kondisi Keuangan Setelah Libur Lebaran

Simak 5 Cara Merapikan Kondisi Keuangan Setelah Libur Lebaran

Earn Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com