Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangun Smelter Bauksit, Pemerintah Diminta Gelar "Karpet Merah"

Kompas.com - 04/06/2015, 22:46 WIB
Yoga Sukmana

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama PT Ardaya Energi Suryo Bambang Sulisto heran mengapa perusahan alumunium asal Rusia, UC Rusal, disalahkan karena pelarangan ekspor bauksit. Seharusnya kata dia, pemerintah justru harus menggelar "karpet merah" untuk investor seperti Rusal yang mau membangun pabrik pengolahan (smelter) bauksit di Indonesia.

"Kita enggak punya kemampuan teknologinya jadi kita mesti gelar karpet merah (untuk Rusal dan investor lain) lah supaya orang mau bikin (smelter). Karena apa? Undang-undang menyatakan enggak boleh lagi ekspor (mineral mentah termasuk bauksit). Jadi mau tidak mau kita harus meyakinkan orang lain harus bikin smelter di Indonesia," ujar Suryo Bambang Sulisto di Kantor Kadin, Jakarta, Kamis (4/6/2015).

Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) ini menuturkan, pemerintah juga harus mendorong agar investor selain Rusal, misalnya investor asal Tiongkok dan Jepang untuk ikut menanamkan investasinya membangun smelter untuk mengolah bauksit dari perut bumi Indonesia. Bukan malah malah investor disalahkan.

Bahkan kalau perlu kata dia, pemerintah juga harus memberikan berbagai insentif kemudahan bagi para investor tersebut Pasalnya, kata dia, investasi pembangunan smelter sangatlah besar.

"Mereka ini mau bikin juga lihat 'apa ni yang lo mau kasih buat gue? Apa pembangkit listrik gue harus investasi? Pelabuhan apa gue  mesti bikin juga?' Ini kan jadi mahal. Orang itu (yang menyebut Rusal membohongi pemerintah) enggak ngerti dibilang mau ngibulin (pemerintah), ngibulin apa? Kitanya yang enggak siap," kata dia dengan nada tinggi.

"Kita mesti menyakinkan bukan hanya Rusia saja. Eh Jepang masuk dong (ke Indonesia bangun smelter). Gitu," ujarnya..

Berdasarkan Pasal 103 dan dan 107 UU Minerba, badan usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri termasuk bauksit. Salah satu jalannya yaitu dengan membuat smelter untuk meningkatkan nilai tambah hasil tambang dari perut bumi Indonesia.

Namun, para pengusaha Indonesia tak mampu membangun smelter sendirian karena biaya investasinya sangat besar. Oleh karena itu, kerjasama dengan investor asing dilakukan. Hal itulah yang menjadi pertimbangan PT Arbaya Energi untuk bekerjasama dengan Rusal membangun smelter pada 2014 lalu.

Namun, kerjasama itu dikritik oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan bahkan menyebut perusahaan asal Rusia itu telah membohongi pemerintah.

Hal itu, kata dia, merujuk kepada proyek pembangunan smelter alumina yang tak kunjung terealisasi hingga saat ini di Kalimantan Barat. Padahal, 9 November 2013, Chief Executive Officer (CEO) En Group dan United Company (UC) Rusal, Oleg Deripaska, menyambangi kantor Hatta Rajasa yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.

Bahkan, seusai pertemuan dengan Hatta Rajasa saat itu, Rusal mengaku siap menanamkan investasi senilai 6 miliar dollar AS untuk membangun smelter bauksit ke alumina, dan dari alumina menjadi aluminium.

"Dan, terakhir kalau masih ingat ada penandatanganan MoU Rusal untuk membuat smelter (dengan PT Arbaya Energi) alumina di Kalbar. Sampai sekarang saya belum pernah mendengar progres ini berjalan, jadi ini pemerintah itu tampaknya dibohongi oleh investor alumina (UC Rusal)," ujar Erry Sofyan dalam acara "Kompasiana Seminar Nasional tentang Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia" di Jakarta, Senin (25/5/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com