Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan "Smelter" Tersendat, Perusahaan Bauksit Minta Dispensasi Ekspor

Kompas.com - 12/08/2015, 12:37 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Keputusan pemerintah melarang ekspor mineral mentah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 tahun 2014 yang berlaku per 12 Januari 2014 mengancam proses hilirisasi tambang bauksit.

PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM) melalui anak perusahaannya yaitu PT Cita Mineral Investino Tbk kini tengah dalam proses merampungkan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit di Ketapang, Kalimantan Barat.  Hingga Juli 2015 perkembangannya sudah mencapai 70 persen. 

External Relation Head HPAM Agus Rusli menuturkan, sekurang-kurangnya dibutuhkan modal 2,2 miliar dollar AS untuk merampungkan smelter bauksit dengan kapasitas 4 juta ton smelter grade alumina (SGA) per tahun. Namun, lantaran penjualan mineral dalam bentuk metallurgical grade bauxite (MGB) terhenti sejak 12 Januari 2014, kas perusahaan menjadi tidak lancar sehingga berpengaruh terhadap kepercayaan kreditor dalam memberikan pinjaman pendanaan smelter.

Tak urung, hal tersebut mengancam keberlanjutan pembangunan smelter. Atas dasar itu, pihak HPAM meminta dispensasi dari pemerintah agar bisa melakukan ekspor MGB. Sekadar informasi, MGB bukanlah mineral mentah bauksit yang dikeruk dari tanah. MGB merupakan mineral bauksit yang sudah mengalami proses penambahan nilai.  Jika mineral mentah bauksit memiliki kandungan alumina atau Al2O3 antara 30-40 persen, adapun MGB memiliki kadar Al2O3 lebih dari 47 persen.

Perbedaan lain, mineral bauksit mentah memiliki kadar R-Si2O3 antara 6-14 persen dengan ukuran yang tidak beraturan, adapun MGB memiliki kadar R-Si2O3 di bawah 7 persen dengan ukuran antara 2-75 milimeter.

Setelah mengalami proses beneficiasi menjadi MGB, volume mineral mentah bauksit juga turun sebesar 50 persen. “Karena kami sudah melakukan pengolahan bauksit dari ores (mineral mentah) menjadi MGB, dan juga sedang dalam progress membangun smelter di Ketapang, Kalimantan Barat atas nama PT Well Harvest Winning (WHW) Alumina Refinary, kami merasa tidak berlebihan jika memohon kepada pemerintah untuk diberikan hak melakukan ekspor bauksit,” ungkap Agus kepada Kompas.com, Selasa (11/8/2015).

PT WHW merupakan perusahaan patungan antara Indonesia dan investor asal China dengan kepemilikan saham China Hongqiao Group Ltd (55 persen), PT Cita Mineral Investindo Tbk (30 persen), Winning Investment (HK) (10 persen), dan Shandong Weiqiao Alumunium Electricity Co Ltd (5 persen).

Dalam kesempatan kunjungan ke Ketapang pekan lalu, penanggunga jawab smelter WHW, Li Yu Yong menyampaikan, pihaknya sangat yakin WHW bisa menjadi smelter terbesar di dunia.

Sekadar informasi saja, saat ini belum ada smelter SGA di Indonesia. Seluruh alumina yang dibutuhkan didatangkan dari impor, salah satunya Australia. Oleh karenanya pihak WHW sangat mengharapkan dukungan dari pemerintah untuk penyelesaian proyek.

“Saat ini progress smelter mencapai 70 persen. Rencananya awal tahun 2016 bisa produksi pertama, 1 juta ton SGA per tahun,” kata Li, Selasa (4/8/2015).

Dalam kesempatan lain, tokoh masyarakat Ketapang, Kalimantan Barat H. Abdulbad H Arani juga menyampaikan harapan masyarakat agar pembangunan pabrik smelter segera selesai. “Semoga kabinet Pak Jokowi bisa mendengar suara kami, masyarakat Kabupaten Ketapang. Berilah jalan supaya masyarakat ini tidak menjadi pengangguran,” ucap Abdulbad. (baca: Karya Baru, Desa Mati di Borneo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com