Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dollar AS Perkasa, Industri Makanan-Minuman Dilanda Dilema

Kompas.com - 27/08/2015, 08:40 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Nilai tukar rupiah yang melemah melampaui batas psiokologis 14.000 per dollar AS membuat dilema pelaku industri makanan dan minuman. Masalahnya, momen pelemahan nilai tukar berlangsung seiring turunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat ini tecermin dari melambatnya laju pertumbuhan ekonomi di semester I-2015 yang hanya mampu capai level 4,7 persen.

Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Stefanus Indrayana menuturkan, ada tekanan biaya yang seharusnya diimbangi dengan kenaikan harga jual, akibat kurs rupiah yang tersungkur.

“Tapi dilemanya, tidak mungkin menaikkan harga dalam kondisi begini. Karena kan daya beli masyarakat juga sedang tertekan,” kata Stefanus dalam diskusi bertajuk ‘Rupiah Terkapar, Bagaimana dengan Bisnis?’, Jakarta, Rabu malam (26/8/2015).

Diakui Stefanus, nilai tukar yang sangat fluktuatif ini menyulitkan perencanaan bisnis. Namun begitu, dia memberikan saran, salah satu hal yang bisa dilakukan pelaku bisnis adalah memilah-pilah komponen produk.

“Pilah-pilah mana komponen impor dan dalam negeri. Kalau ada yang bisa disubtitusi gunakan. Kita kelapa sawit bisa dari dalam negeri, cost lagi turun. Pembangkit listrik kita pilih dari gas atau batubara,” sambung Stefanus.

Cara ini menurut Stefanus cukup ampuh untuk meredam membengkaknya biaya produksi. Jika ini dilakukan, besar kemungkinan tidak perlu ada kenaikan harga barang. “Sebab kalau harga dinaikkan, daya beli masyarakat turun, industri mamin juga malah akan makin susah,” ucap dia.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati mengatakan, melemahnya rupiah memberikan tekanan terhadap kinerja sektor industri manufaktur sebab, masih banyak komponen impor yang digunakan. Industri makanan-minuman juga salah satu yang masih mengidap ketergantungan impor.

“Misalnya minuman kemasan. Harganya Rp 5.000, padahal komposisi terbesarnya itu kan air yang harganya paling cuma Rp 500. Yang bikin mahal itu apa? Kemasannya kan, karena kemasannya itu impor,” ujar Enny.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com