Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Jepang dan Tiongkok "Ngebet" Garap Kereta Cepat Jakarta-Bandung?

Kompas.com - 04/09/2015, 12:58 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dinilai banyak pihak tak terlalu penting. Selain jaraknya pendek, hanya sekitar 150 kilometer, akses transportasi untuk kedua kota itu juga dinilai sudah lumayan baik, ada jalan tol, kereta api, hingga pesawat terbang. Lantas, mengapa Jepang dan Tiongkok ngebet bangun kereta cepat Jakarta-Bandung?(Baca: Tiongkok dan Jepang Bersaing Dapatkan Proyek Kereta Cepat)

Menurut Ketua Institute Studi Transportasi Darmaningtyas, Jepang dan Tiongkok tentunya memiliki perhitungan ekonomi terhadap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Bahkan, kedua negara itu sudah memiliki asumsi jumlah penumpang pada tahun pertama pengoperasian sebanyak 44.000 orang per hari hingga menjadi 68.000 orang per hari pada 2030 dan 148.000 orang pada 2050 nanti.

Dengan harga tiket Rp 200.000 per orang, dipercaya, proyek ini akan menghasilkan keuntungan yang melimpah. Namun, kata dia, asumsi jumlah penumpang kedua negara itu bisa tak kesampaian. Berdasarkan kajian yang ada, trafik perjalanan Jakarta-Bandung PP 143.518 perjalanan per hari, dengan 127.133 perjalanan menggunakan kendaraan pribadi. Sisanya, ada yang menggunakan transportasi umum, yang terdiri dari kereta api Parahyangan sekitar 2.000-2.500 orang per hari, travel bus kecil 13.000-14.000 orang per hari, dan bus besar sekitar 1.000 orang per hari.

Artinya, total pengguna angkutan umum Jakarta-Bandung hanya kurang dari 20.000 orang per hari. Dari total itu, menurut Darmaningtyas, hanya sekitar 25 persen yang diperkirakan akan beralih ke kereta cepat.

Sementara itu, masyarakat yang menggunakan angkutan pribadi dipercaya tak akan beralih karena akses transportasi di dalam kota, baik di Jakarta dan Bandung, masih tidak baik, ditambah kemacetan yang parah.

"Mereka belum tentu mau pindah kereta cepat kalau tarif Rp 200.000. Yang naik mobil pribadi belum tentu mau pindah menggunakan kereta cepat kalau perjalanan di kotanya itu buruk," kata Darmaningtyas di Jakarta, Kamis (3/9/2015). (Baca: Proyek Kereta Cepat, Jepang Unggul di Teknologi dan China di Sosial-Ekonomi)

Selain melihat potensi itu, hasrat menggebu Jepang dan Tiongkok menggarap kereta cepat di luar negaranya juga disebabkan kondisi ekonomi di kedua negara itu. Jepang dan Tiongkok diyakini sudah "selesai" dengan pembangunan di negaranya, terutama kereta cepat.

Akibatnya, banyak dana yang terkumpul di bank-bank sehingga tak terpakai. Salah satu jalan memutar dana itu ialah dengan menanamkan investasi di luar negeri.

Lebih lanjut, kata Darmaningtyas, investasi di luar negeri, seperti proyek kereta cepat, tentu akan memiliki dampak terhadap warga negara kedua negara. Pasalnya, pembangunan kereta cepat tentu masih mengandalkan teknologi dan sumber daya manusia dari kedua negara itu.

Alhasil, para ahli, teknisi, hingga buruh kasar asal Jepang dan Tiongkok bisa memiliki pekerjaan di tengah "selesainya" pembangunan di negaranya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Sugeng Purnomo justru menduga hasrat menggebu Jepang dan Tiongkok tak akan berganti di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Dia meyakini, proyek yang direbutkan saat ini merupakan pintu gerbang untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang lebih besar, misalnya kereta cepat Jakarta-Surabaya.

"Kalau itu terjadi, kita sudah telanjur menggunakan dan ketergantungan kepada satu teknologi. Maka, nantinya, negara ini akan dimonopoli," ucap dia.

Baca juga: Akhirnya, Pemerintah Serahkan Keputusan Proyek KA Cepat ke BUMN

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com