Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Cegah PHK Harus Jadi Prioritas

Kompas.com - 12/09/2015, 15:48 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kalangan dunia usaha mengharapkan implementasi paket kebijakan ekonomi dari kementerian teknis mampu mendorong pertumbuhan sektor usaha di dalam negeri. Paket itu juga harus mampu mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja.

Sejumlah kalangan yang ditemui dan dihubungi Kompas, Jumat (11/9/2015) di Jakarta, mengatakan, pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dicegah. Apabila tidak dicegah, PHK akan mempunyai dampak yang meluas.

”PHK harus dicegah karena akan menurunkan daya beli. Masyarakat yang terkena PHK tidak lagi mendapat penghasilan,” kata Ketua Komite Tetap Industri Makanan dan Minuman Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Thomas Darmawan.

Thomas menuturkan, PHK juga menyulitkan pengusaha karena harus mengeluarkan pesangon. PHK pun menciptakan iklim tidak baik dalam upaya menarik investasi ke dalam negeri. ”Jadi, insentif harus diberikan kepada perusahaan yang bisa menahan tidak terjadi PHK,” katanya lagi.

Menurut Thomas, untuk mencegah PHK, segala aturan yang menimbulkan biaya tinggi atau menyulitkan dunia usaha pun harus dikurangi. Ia mengatakan, pelaku usaha pun mengharapkan deregulasi mampu mempercepat dan mempermudah ekspor yang dibutuhkan sebagai pendapatan. Peraturan dalam negeri yang tidak mendukung, lama tunggu di pelabuhan, tumpang tindih rekomendasi, dan hambatan lain harus dibenahi.

Upaya menarik investasi ke dalam negeri pun harus memikirkan konsekuensi bagi industri di dalam negeri. ”Kalau tidak selektif dan diatur, industri dalam negeri yang sudah eksis bisa mati kalau yang baru masuk diberi pembebasan pajak 15-20 tahun. Fasilitas boleh, tetapi berikan untuk investasi di luar Jawa, misalnya di Papua,” tuturnya.

(baca juga: Soal Paket Ekonomi, Pengamat Ini Sebut Lebih Bagus Terlambat daripada Lelet)

Dihubungi di Jakarta, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, kebijakan ekonomi saat ini harus diarahkan pada dua hal, yaitu sebanyak mungkin menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa. ”Agar mampu bersaing, tarif listrik industri yang sekarang sekitar 10 sen dollar Amerika Serikat (AS) per kWh harus diturunkan. Apalagi, tarif listrik industri sejenis di Vietnam hanya 6 sen dollar AS per kWh,” ungkap Ade.

Ade mengatakan, pelaku industri di dalam negeri pun selama ini terbebani dengan dua kali pengenaan pajak di listrik, yakni dari PPN 10 persen dan pajak penerangan umum yang bervariasi di tiap daerah.

Ia membandingkan, nilai ekspor Vietnam yang baru 15 tahun terakhir mengembangkan industri tekstil sudah menembus 28 miliar dollar AS. Sebaliknya, Indonesia yang sudah 35 tahun mengembangkan industri tekstil baru mampu mengekspor sekitar 13 miliar dollar AS.

Ade menuturkan, dukungan bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dibutuhkan karena industri ini menyerap 2,656 juta tenaga kerja langsung. Dukungan diperlukan agar tak terjadi PHK lebih meluas. PHK di industri TPT tahun ini sekitar 36.000 orang.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com