Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rizal Ramli Ungkap "Kemunafikan" yang Terselip dalam Pembentukan UU

Kompas.com - 15/09/2015, 15:18 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Di beberapa sektor, Indonesia dinilai lebih liberal ketimbang negara yang liberal sekalipun, yakni Amerika Serikat (AS). Banyak kepentingan asing yang disebut-sebut bisa masuk ke dalam perundang-undangan di negeri ini.

Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli menyebutkan, ada "kemunafikan" yang terselip di dalam pembentukan beberapa undang-undang yang disinyalir memuat kepentingan asing.

"Kita menganut kebijakan ekonomi neo-liberalisme. Apa itu? Pada dasarnya, semua diserahkan kepada pasar. Liberalisasi perdagangan, tetapi tak bisa liberalisasi tenaga kerja. Seluruh dunia melakukan liberalisasi keuangan, tetapi tak meliberalisasi tenaga kerja. Kalau diliberalisasi, nanti orang bisa menjadi tenaga kerja di negara-negara Barat. Di situ munafiknya," ujar Rizal, Selasa (15/9/2015).

Beberapa tahun lalu, kata Rizal, Indonesia dipinjami uang 500 juta dollar AS. Syaratnya, Indonesia harus membuat undang-undang migas. Akibatnya, terdapat beberapa pasal yang aneh di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas tersebut.

"Di undang-undangnya terdapat sejumlah pasal aneh bin ajaib. Salah satunya Indonesia tidak boleh menggunakan gas lebih dari 20 persen. Itu UU didesain oleh (pihak) asing-asing. Saya ke India, itu bajaj-nya kok bunyinya tenang-tenang saja. Gak keluar asap. Ternyata gasnya dari Indonesia," kata Rizal.

Lebih lanjut, kata dia, kepentingan asing juga masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan semua pasal dalam UU tersebut. Menurut dia, pembentukan UU Sumber Daya Air itu berawal ketika Indonesia meminjam 400 juta dollar AS dari Bank Dunia. Saat itu pula, Bank Dunia meminta adanya UU untuk melakukan swastanisasi sumber daya yang seharusnya menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, dan sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

"Kemudian ada lagi. Kita pinjam 200 juta dollar AS dari IDB. Dia minta kita buat undang-undang privatisasi BUMN. Jadi, BUMN bisa dijual oleh asing. Jadi, ini proses menjual kedaulatan kita karena undang-undang itu belum tentu sesuai maksud kita sebagai bangsa. Tidak aneh bilamana (pihak) asing terlalu dominan, dan ini terjadi di berbagai bidang. Ini policy yang sangat neo-liberal," ucap Rizal.

Dia mengatakan, tidak ada paham neo-liberalisme yang meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Neo-liberalisme merupakan pintu masuknya neo-kolonialisme. Suatu bangsa bisa mengubah nasibnya dengan policy dan strategi sendiri, bukan selalu dicekoki dengan uang atau proyek-proyek titipan dari luar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com