Dua lembaga non-pemerintah itu melakukan survei di Bandara Soekarno-Hatta dengan mewawancarai 1.650 calon pembantu rumah tangga migran yang akan berangkat ke Timur Tengah.
"Berdasarkan moratorium pemerintah, yang boleh dikirim adalah mereka yang pernah migrasi. Tetapi temuan dari kami, hampir 50 persen mereka yang baru juga dikirimkan ke Timur Tengah. Ini berarti terlihat efektivitas moratorium itu enggak ada. PJTKI terus melakukan pengiriman," kata peneliti HIVOS Theresia Iswarini dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu (10/10/2015).
Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa sebanyak 765 orang atau 46,4 persen dari total responden adalah pembantu rumah tangga migran yang baru pertama kali diberangkatkan.
Sementara sisanya, yakni kurang lebih 884 orang atau 53,6 persen merupakan pembantu rumah tangga migran yang masuk kembali ke Timur Tengah. Mayoritas pembantu rumah tangga migran yang berangkat ke Timur Tengah melalui Bandara Soekarno Hatta itu berasal dari Cianjur, Jawa Barat.
Sisanya berasal dari sejumlah daerah lain seperri Karawang, Cirebon, Bandung, Sukabumi, Indramayu, Serang, Lombok, Majalengka, Purwakarta, dan Sumbawa Nusa Tenggara Barat.
Peneliti Migrant Care Iwa Abdul Rozak menyampaikan bahwa pekerja rumah tangga migran itu dikirimkan ke negara-negara Timur Tengah dengan modus tertentu, yakni menggunakan visa ziarah, menyamarkan penampilan, modus umroh, mengunjungi saudara, atau modus ke Timur Tengah hanya untuk transit.
Hasil survei tersebut juga memperlihatkan masih adanya calon buruh migran yang dikirim ke Timur Tengah tanpa pernah melihat kontrak kerja mereka. Bukan hanya itu, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran yang dilakukan pihak penyalur tenaga kerja dalam proses perekrutan pembantu rumah tangga migran. Pelanggaran tersebut di antaranya berupa pelatihan yang tidak sesuai prosedur, penampungan yang kondisinya tidak layak, paspor yang ditahan pihak penyalur tenaga kerja hingga calon buruh migran naik pesawat, serta tidak memberikan salinan kontrak kerja kepada calon pembantu rumah tangga tersebut.
Atas dasar itu, Iswarini menilai kebijakan moratorium TKI ke Timur Tengah yang diterapkan pemerinta semakin membuka celah perdagangan manusia. Dengan menerapkan moratorium, maka pemerintah akan merasa tidak bertanggung jawab atas tenaga kerja Indonesia yang dikirimkan ke Timur Tengah setelah moratorium diberlakukan.
"Mereka katakanlah lepas tangan karena moratorium sudah dilakukan, maka bukan tanggung jawab kami lagi (kata pemerintah), sehingga tendesi perdagangan orang semakin besar," ucap Iswarini.
Selain itu, moratorium TKI ke Timur Tengah ini dinilai sebagai langkah pemerintah yang reaktif dalam merespon permasalahan buruh migran selama ini. Kebijakan tersebut dianggap tidak solutif dan rentan melanggar hak asasi manusia untuk memperoleh pekerjaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.