Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Bagian 2)

Kompas.com - 13/10/2015, 05:30 WIB

Jadi bagi saya sudah seharusnyalah pemerintah melibatkan swasta dan mengajukan skema non-APBN.  Juga, tidak ada jaminan dari pemerintah itu baik bagi kita.  Risikonya harus
disebar. Jadi skemanya murni Business to Business (B2B). Apalagi yang kita takuti?  Kalau takut menghadapi risiko, sudah saja kasih perusahaan swasta semua. Pasti peminatnya banyak.

Skema semacam ini, di lain pihak, ternyata tidak sesuai dengan model bisnis dan regulasi dari Pemerintah Jepang. Mereka tetap minta jaminan pemerintah. Ini berarti risiko sepenuhnya diserahkan pada kita, sedangkan industri mereka sudah dijamin hidup dengan pembelian besar gerbong dan lokomotif kereta cepat dan jasa-jasanya. Masalah menjadi rumit karena Jepang sangat menginginkan proyek itu.

Lalu, sebagai gantinya saya melihat masuklah konsorsium delapan BUMN Tiongkok yang dipimpin oleh China Railway Corporation (CRC). Konsorsium CRC itu akan berkongsi dengan empat BUMN, yakni PT Wijaya Karya Tbk (pemimpin konsorsium), PT Kereta Api Indonesia, PT Jasa Marga Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII.

Konsorsium CRC itu bahkan sudah menyiapkan China Development Bank (CDB) sebagai penyandang dana. Nilai investasinya pun berkurang menjadi 5,5 miliar dollar AS. Saya melihat suku bunga pinjaman tawaran CDB cukup kompetitif. Fair. Apalagi jangka waktu pengembaliannya juga sampai 40 tahun, ditambah dengan grace period 10 tahun. Ini waktu yang cukup.

CRC juga siap berpatungan dengan konsorsium BUMN kita dengan komposisi kepemilikan saham 60 persen untuk konsorsium BUMN kita dan 40 persen CRC.

Lalu, bagaimana dengan kelayakan bisnisnya? Menurut data JICA, pada tahun 2020 bakal ada 44.000 penumpang per hari yang naik kereta cepat itu. Dengan harga tiket Rp 200.000 per penumpang, itu berarti penerimaan per bulan Rp264 miliar, atau per tahun menjadi Rp3,17 triliun. Kalau 40 tahun, dengan asumsi tanpa penambahan jumlah penumpang dan kenaikan harga tiket, berarti Rp126,8 triliun.  

Bagi saya  nilai sebesar ini masih kondisional. Artinya, apakah benar ada orang sebanyak itu yang bersedia membayar sebesar itu tiga-empat tahun dari sekarang? Bagaimana kalau tidak? Itu sebabnya saya katakan kondisional dan beresiko. Tapi BUMN harus cerdas.

Kalau  kota-kota baru dibangun dalam koridor, maka mekanisme cross-subsidy dapat menyelamatkan masa depannya. Ingat nasehat para taipan yang saya ceritakan dalam tulidan kemarin: siapkan landbank untuk memanfaatkan turunan usahanya.

Selain mengurangi kepadatan di pusat kota, peremajaan kota sudah amat mendesak. Ini berarti, semua terpulang pada kemampuan implementasi pada semua pihak dalam mengemban resiko masing-masing. Dan dalam bisnis, resiko seperti ini amat wajar. Makin besar bisnisnya tentu tidak kecil resikonya. Demikian juga sebaliknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Whats New
BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

Whats New
[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

Whats New
KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

Whats New
Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Earn Smart
Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Whats New
Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Whats New
Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Whats New
Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Whats New
BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Whats New
BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com