Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuhan, Rakyat, dan Neolib, Jurus Ampuh untuk Tarik Simpati

Kompas.com - 16/11/2015, 05:45 WIB

                                                  Oleh Rhenald Kasali
                                                    @Rhenald_Kasali

KOMPAS.com — Dua teman ditunjuk menjadi menteri. Begitu dilantik, teman saya yang pertama segera memanggil teman-temannya yang biasa mengutak-atik media sosial dan wartawan-wartawan muda.

Yang kedua memilih untuk bekerja, dan memanggil teman-temannya, para profesional untuk bekerja.

Saya tak usah menyebut nama-nama mereka. Sebut saja Si A dan Si B. Saya kira Anda pun bisa menebaknya.

Yang jelas saya sedang pusing. Maklum dua-duanya sahabat. Namun, keduanya kini berseteru serta menjadi bulan-bulanan media massa dan aktor-aktor media sosial.

Susah bagi saya meyakinkan Anda bahwa Si B bekerja lebih baik dari Si A. Ini karena Si A lebih pandai berselancar di media sosial, aktingnya keren, cara mengolah beritanya dengan memanfaatkan peradaban kamera luar biasa.

Bahkan, teman-teman dan senior-senior saya kini berpihak pada Si A yang dari muda memang jagoan retorika.

Sementara itu, Si B dilabeli mereka sebagai neolib, walaupun saya lihat dia benar-benar bekerja untuk rakyat.

Akan tetapi, baiklah, kita ambil pelajarannya untuk kita renungkan, lalu kita kembalikan kepada masing-masing.

Sekali lagi keduanya sama-sama teman baik saya, dan ini membuat saya pusing untuk mendamaikannya. Namun, apakah negeri ini mau terus dipermainkan oleh pemain-pemain sandiwara?

Menjual "rakyat"

Si A mendapat nasihat dari rekan-rekannya agar selalu mengangkat tema rakyat. Kata rakyat harus selalu disebut. "Rakyat dirugikan", "rakyat sudah lama kesulitan", "rakyat menagih", atau "bukan itu yang dibutuhkan rakyat", demikian seterusnya, harus selalu ia dengungkan.

"Jangan takut bertengkar dengan teman sendiri, asal gunakan kata rakyat," ujar teman-teman A.

Si B lain lagi. "Bekerjalah untuk rakyat", "rakyat tidak buta, mereka tahu siapa yang bekerja dan siapa yang beretorika". Demikian yang diujarkan sahabat-sahabat Si B.

Maka dari itu, B yang dari dulu tak pernah dekat dengan media pun langsung bekerja. Ia tidak jago beretorika, apalagi menari di media sosial. Maaf juga, dia memilih teman pun amat selektif.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com