Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/12/2015, 21:27 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

 

KOMPAS.com – Siang itu, Heri bersama anaknya mengunjungi Bank Jombang di Jombang, Jawa Timur. Dia hendak mengajukan kredit. Namun, kredit ini bukan kredit biasa.

Bank Jombang yang jadi tujuan Heri tak jauh dari rumahnya. Dengan sepeda motor, jarak tersebut bisa ditempuh dalam waktu 15 menit. Di bank ini, dia hendak mengajukan kredit jamban. Iya, jamban, kakus, atau tempat buang air besar.

Transaksi dan prosedur untuk mendapatkan Kredit Jamban tak beda dengan aneka pinjaman lain lewat perbankan. Sebutan itu merujuk pada Kredit Sanitasi, program membangun jamban sehat, cepat, dan hemat.

Pengajuan kredit untuk modal pembangunan jamban tersebut mensyaratkan fotokopi kartu tanda penduduk suami istri, surat nikah, kartu keluarga, ditambah rekomendasi kader dan sanitarian. Nilai kredit maksimal Rp 1,5 juta.

Dana pinjaman itu lalu bisa dikembalikan dengan sistem cicilan berbunga 0,75 persen per bulan selama dua tahun. Warga seperti Heri cukup menyisihkan Rp 2.500 per hari dan mereka bisa memiliki jamban sesuai standar kelayakan dan kesehatan. Bagi petani seperti Heri, nilai itu adalah nominal yang masuk akal.

Tak hanya di Jombang

Di Jombang, Heri hanya salah satu warga yang belum memiliki jamban layak di rumah. Hingga 2014, Bank Dunia memperkirakan sekitar 2,5 miliar penduduk dunia tidak memiliki jamban dan satu miliar di antaranya buang air besar sembarangan (BABS) di sungai atau ladang.

Bank Dunia menyebut jumlah orang Indonesia yang membuang hajat sembarangan diperkirakan lebih dari 50 juta orang. Sebagian besar dari mereka tinggal di pedesaan.

“Setengah dari populasi masyarakat perdesaan tidak memiliki akses sanitasi layak, dan dari 57 juta orang yang melakukan buang air besar sembarangan, 40 juta di antaranya tinggal di pedesaan,” ujar laporan Bank Dunia dari pertemuan lembaga tersebut dengan para menteri terkait keuangan, air, dan sanitasi, pada 11 April 2014 di Washington DC, Amerika Serikat.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Seorang warga Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta, mencuci pakaian di aliran Sungai Ciliwung yang keruh dan penuh sampah. Indonesia masih buruk dalam masalah sanitasi dan akses terhadap air bersih. Warga miskin akhirnya mengesampingkan persoalan kebersihan dan kesehatan hidupnya.

Data yang sama menunjukkan buruknya sanitasi telah menyebabkan jutaan kematian terutama pada anak-anak miskin di seluruh dunia. Sebelumnya, data dari Water Sanitation Programme (WSP) Bank Dunia pada 2008 menunjukkan pula sanitasi yang buruk menyebabkan kerugian Rp 1,4 triliun di sektor pariwisata dan Rp 29 triliun di sektor kesehatan.

Sanitasi yang buruk juga menyebabkan diare dan gizi buruk pada anak.  Disebutkan, sebanyak 1,4 juta anak meninggal akibat diare. Meski angka tersebut sudah membaik dibandingkan setahun sebelumnya, Bank Dunia memaparkan bahwa kerugian negara akibat sanitasi buruk setara Rp 58 triliun pada 2007, setara sekitar 2,1 persen  pendapatan domestik bruto Indonesia.

Keadaan sanitasi buruk juga mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Setidaknya, setiap keluarga di Indonesia kehilangan rata-rata penghasilan Rp 1,25 juta per tahun karena penyakit akibat sanitasi tak layak.

Padahal, membangun dan meningkatkan akses sanitasi memiliki manfaat berlipat. Setiap rupiah investasi untuk sanitasi akan menghasilkan nilai ekonomi delapan hingga sebelas kali lipat. Sebagai contoh, dalam pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Jawa Timur, setiap investasi Rp 1 bahkan memicu investasi masyarakat hingga Rp 35.

Investasi sebelum terlambat

Menurut studi Bank Pembangunan Asia (ADB), gagal berinvestasi untuk sanitasi berarti kegagalan pengelolaan sampah hingga pencemaran sungai dan air tanah. Padahal kegagalan investasi Rp 1 untuk sanitasi butuh biaya Rp 36 untuk upaya membersihkannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com