RUU KUP tersebut ditargetkan selesai pada tahun ini, setelah tertunda dari seharusnya terbit di 2015.
Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan I Dirjen Pajak, mengatakan bahwa pasal kerahasiaan dalam aturan perundangan saat ini jadi penghalang bagi Dirjen Pajak untuk mengambil data wajib pajak.
Pasal kerahasiaan tersebut ada di UU perbankan, UU perindustrian, UU kepabeanan, UU cukai dan sebagainya.
"Ada sanksi pidana bagi pejabat terkait yang membuka rahasia wajib pajak, misal perbankan. Sehingga susah untuk ambil data wajib pajak," kata Irawan di Kuta, Kamis (25/2/2016).
Untuk itu, di RUU KUP memuat pasal yang menghilangkan sanksi pidana terkait jika Dirjen Pajak meminta membuka data terkait.
Pada 2017 mendatang, seiring berlakunya Automatic Exchange of Information secara global, maka pasal kerahasiaan bank tidak berlaku lagi.
Cara lain, yakni dengan membuka peran serta masyarakat.
"Masyarakat yang memberikan informasi atau data akan perihal pajak dan jika ternyata benar setelah kami telusuri, akan kami berikan reward," lanjut Irawan.
Selain itu, Dirjen Pajak juga menggalang kerja sama dengan otoritas pajak di negara lain.
Saat ini, Indonesia sudah bekerja sama tax treaty dengan 61 negara dari sekitar 137 negara di dunia.
Seperti diketahui, Dirjen Pajak pada tahun ini mengupayakan peningkatan pendapatan pajak dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi wajib pajak, terutama wajib pajak orang pribadi (non karyawan) dan perdagangan (sektoral).
Karena Dirjen Pajak masih kekurangan 25.000 tenaga pemeriksa pajak, maka penggunaan data dan teknologi informasi (TI) jadi solusi.
Pada tahun ini Dirjen Pajak menargetkan kenaikan penerimaan pajak hingga 30 persen dari tahun lalu, atau sebesar Rp 1.351 triliun.