Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Faisal Basri: Hentikan Akrobat Fiskal

Kompas.com - 29/02/2016, 08:00 WIB
Aprillia Ika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Faisal Basri, pakar ekonomi Universitas Indonesia yang juga mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, menegaskan bahwa mengelola keuangan negara tidak bisa dengan cara berakrobat. Sebab, semua variabel ada pakemnya.

"Energi yang kita miliki harus diukur dengan baik agar di tengah jalan tidak kehabisan bensin," sindir Faisal melalui blog-nya, faisalbasri01.wordpress.com, yang ditautkan ke akun Twitter-nya, @FaisalBasri.

Dia menjelaskan, komplikasi permasalahan berawal dari target penerimaan pajak tahun 2015 yang “selangit” dengan kenaikan 30 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2014. Padahal, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang mengalami tekanan.

"Pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi, yatu 5,7 persen untuk tahun 2015. Realisasinya jauh meleset, hanya 4,8 persen," kata dia.

Faisal menitikberatkan pada target pajak yang dinaikkan dari Rp 1.380 triliun (APBN 2015) menjadi Rp 1.489 triliun (APBN-P 2015) atau meningkat sebesar 7,9 persen. Padahal, target APBN 2015 saja sudah naik 20,3 persen dibandingkan dengan realisasi APBN 2014.

Di sisi lain, pernyataan-pernyataan Menteri Keuangan selama tahun 2015 yang sejak jauh hari hampir selalu bernada optimistik bisa mencapai target penerimaan pajak, belakangan ini sejak dini sudah pesimistik target pajak pada APBN 2016 tak bakal tercapai.

Faisal menilai, sebaiknya target penerimaan pajak hanya memerhitungkan variabel yang sudah pasti saja.

"Seandainya undang-undang pengampunan pajak (tax amnesty) segera diberlakukan, tetap saja target penerimaan pajak 2016 sangat sulit tercapai, karena paling banter hanya menambah Rp 100 triliun," lanjut dia.

Menurut Faisal, praktek “tsunami pajak” tidak sehat karena sangat mendistorsi penerencanaan perpajakan.

APBN Sehat

Faisal mengatakan, untuk menghadirkan APBN yang sehat lewat perubahan APBN (APBN-P) tinggal tiga alternatif.

Menurut dia, jika perpaduan ketiga alternatif itu masih juga kurang, tak apa defisit naik ke 2,4 persen sampai 2,5 persen dari PDB, asalkan kualitas belanja terjaga dan target pertumbuhan berkelanjutan dan berkualitas tercapai.

"Dengan begitu, kita tidak perlu lagi berakrobat," tegas dia.

Apa saja alternatif itu?

Pertama, menaikkan defisit APBN dari 2,15 persen PDB menjadi 2,5 persen PDB. Pemerintah harus menerbitkan lebih banyak surat utang dengan penawaran bunga relatif tinggi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com