“Penolakan berdasarkan penilaian kami bahwa proyek ini sangat menggangu kegiatan spiritual kami, karena yang hendak diuruk adalah kawasan suci yang notabene kawasan suci umat Hindu,” kata dia mengawali pemaparan arpirasi masyarakat Desa Pemogan.
Wiryanata menyampaikan, Desa Pemogan yang terdiri dari 17 banjar adat merupakan wilayah paling selatan Denpasar yang bersisihan langung dengan Teluk Benoa. Sementara itu, Teluk Benoa sendiri menjadi muara dari lima aliran sungai di Bali, sehingga dianggap sebagai kawasan yang suci dan tidak boleh dirusak.
“Reklamasi yang menguruk hampir 90 persen kawasan Teluk Benoa, merupakan upaya perusakan kawasan suci Teluk Benoa,” imbuh Wiryanata.
Selain alasan mengganggu aktivita spiritual, penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa juga disebabkan kawasan Bali Selatan sudah cukup padat dengan akomodasi pariwisata.
Wiryanata mengemukakan, penambahan akomodasi pariwisata ayng akan dibangun di wilayah tersebut dengan adanya proyek reklamasi bakal menambah beban sosial dan lingkungan hidup di Bali Selatan.
“Bali adalah pulau kecil yang memiliki batas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya. Pemaksaan proyek reklamasi Teluk Benoa justru akan memberikan dampak buruk bagi pariwisata di Bali Selatan,” ucap Wiryanata.
Di samping itu, masyarakat khawatir proyek reklamasi Teluk Benoa berdampak buruk terhadap lingkungan hidup, dan meningkatkan risiko bencana di kawasan yang harusnya menjadi kawasan konservasi perairan tersebut.
Atas dasar sejumlah alasan itu, Wiryanata menuturkan, masyarakat mendesak pemerintah menolak izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).
“Kami sekaligus meminta Perpres 51 tahun 2014 dicabut, dan dikembalikannya Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi perairan,” pungkas Wiryanata.