Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Dengan BPJS Kesehatan, Siapapun Boleh Sakit..!!

Kompas.com - 17/03/2016, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Sebelum JKN hadir, tidak dimungkiri bahwa hanya mereka yang berduit saja yang bisa menikmati layanan kesehatan.

Sebagaimana yang ditulis pada buku berjudul: Orang Miskin Dilarang Sakit (2004) oleh Eko Prasetyo terbitan Resist Book, Yogyakarta. Bahwa kesehatan telah menjadi sebuah komoditas industri.

Harga obat dan rumah sakit membubung tinggi tanpa terkontrol, menutup peluang orang-orang miskin mendapatkan layanan kesehatan. Penolakan pasien miskin oleh rumah sakit telah jadi berita saban hari.

Berbagai aksi keprihatinan atas sistem kesehatan di Indonesia banyak disuarakan.

Hingga akhirnya, sekitar sepuluh tahun setelah buku itu ditulis, lahirlah perubahan besar-besaran pada sistem jaminan kesehatan Indonesia.

Digulirkan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, BPJS Kesehatan membuka kesempatan kepada siapapun untuk mengakses layanan kesehatan. Terimakasih Pak Beye..

BPJS Kesehatan vs Obamacare

Sebagai satu-satunya institusi pelaksana JKN, BPJS Kesehatan tampak kewalahan dengan banyaknya peserta. Sebelumnya, saat masih menjadi PT Askes, peserta yang dilayani hanya dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Saat berubah menjadi BPJS Kesehatan, peserta yang dilayani adalah seluruh anggota masyarakat, termasuk pegawai swasta. Total jumlah peserta hingga bulan ini telah mencapai 163,3 juta peserta.

Praktis hal ini membuat infrastruktur yang dimiliki menjadi terbatas seiring dengan banyaknya peserta.

Klinik dan rumah sakit provider bagi BPJS Kesehatan, jumlahnya tak sebanding dengan jumlah peserta. Akibatnya, terjadi antrean yang panjang dan membuat pasien makin tidak nyaman.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com