"Nanti yang datang itu orang asing, bisa saja pengoperasian (MRT atau kereta cepat) baik, tapi orang asing yang mengoperasikan. Ini bertentangan dengan prinsip kemandirian yang ingin kita dorong," ujar pengamat transportasi Danang Parikesit kepada Kompas.com, Jakarta, Rabu (16/3/2016).
Menurut Danang, SDM Indonesia bukan berarti tidak mampu bersaing dengan asing.
Hanya saja tutur dia, perlu waktu untuk mempersiapkan SDM menguasai teknologi baru seperti MRT, LRT, atau kereta cepat.
Berkaca dari Garuda Maintainance Facility (GMF) AeroAsia, anak usaha Garuda Indonesia, perlu waktu 2-3 tahun bagi para SDM-nya menguasi berbagai komponen pesawat.
Dari situ, Danang mengetahui bahwa penguasaan teknologi perlu waktu selama itu.
"Ini MRT, LRT, Kereta Cepat, kan investasi yang direncanakan, oleh pemerintah sendiri. Jadi seharusnya memiliki kesempatan lebih banyak untuk mempersiapkan diri lebih bagus, membuat rencana, mengalokasikan anggaran (untuk pengembangan SDM)," kata Danang.
Sedangkan Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, beberapa negara memiliki kecenderungan mengajak para tenaga ahlinya ikut serta dalam investasi di suatu negara.
Bahkan kata Enny, tenaga kasar untuk pembangunan infrastuktur pun bisa dibawa langsung oleh investor asing.
"Kalau Eropa masih mending. Tapi kalau China sampai tenaga kasar pun diajak. Kan kacau kalau seperti itu," kata dia.
Hal yang penting dicermati yakni penggunaan bahan baku dan tenaga kerja.