Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu Meja KompasTV: Susi yang "Hobi" Menenggelamkan Kapal

Kompas.com - 14/04/2016, 06:30 WIB
Aprillia Ika

Penulis

Sumber Kompas TV

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama 17 bulan menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti punya tugas berat menjaga kekayaan perairan Indonesia.

Susi bergerak cepat mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyelamatkan ikan, yang menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tiap tahunnya senilai Rp 50 triliun dicuri.

Berbagai kebijakannya menuai pujian sekaligus kontroversi, mulai dari moratorium izin bagi kapal asing, pelarangan alih muat di laut (transhipment), hingga penenggelaman kapal asing.

Talkshow Satu Meja bersama Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Budiman Tanuredjo, Rabu (13/4/2016) di KompasTV, Susi menjelaskan alasannya untuk berlaku "galak" kepada kapal-kapal asing sampai tidak keberatan jika namanya diidentikkan dengan penenggelaman kapal asing.

Susi bercerita, saat ini efek jera bagi kapal asing pencuri ikan sudah sangat terlihat dengan sepinya kapal asing yang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia, padahal dulu mereka beroperasi sampai ke dalam.

"Dulu, kapal nelayan Vietnam bahkan bisa masuk sampai kawasan Raja Ampat. Disana mereka dapat sirip hiu kering hingga 2.000 kilogram. Padahal untuk satu kilo sirip hiu saja bisa bunuh banyak hiu, untuk 2.000 kilo berapa hiu yang dibunuh?" papar Susi.

Update terakhir, Susi sudah menenggelamkan hampir sekitar 200 kapal pencuri ikan sepanjang masa jabatannya. "Buat apa beli kapal dan jaring buat nelayan kalau ikannya tidak ada? (akibat pencurian ikan)," tukas Susi.

Menurut wanita asal Pangandaran ini, sampai saat ini belum ada protes diplomatik yang dilakukan negara-negara tetangga terkait kebijakannya menenggelamkan kapal asing.

Dia mengatakan, sudah berkoordinasi dengan para Duta Besar negara tetangga dan memberikan pengertian bahwa Indonesia saat ini akan berlaku keras memerangi IUU Fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) atau kegiatan perikanan ilegal.

Menurut dia, sebelum Indonesia memerangi IUU Fishing, Australia sudah lebih dulu melaksanakan penenggelaman kapal asing, kebanyakan berbendera Indonesia, menggunakan Undang-undnag karantina.

"Malaysia juga melakukan hal yang sama. Dan itu dihormati oleh internasional sebab menyangkut sovereignity dari kedaulatan mereka," papar Susi.

Mendapat Dukungan Presiden

Apakah penenggelaman kapal hanya satu-satunya opsi? Susi menyatakan tidak. Menurut dia, kapal asing bisa saja disita lalu dilelang.

"Tapi kami tidak ambil opsi itu karena untuk mengantisipasi maraknya illegal fishing yang sudah berurat akar. Penenggelaman lebih untuk menimbulkan efek jera dan menjaga muka Indonesia," kata dia.

Sebelumnya, kapal asing yang tertangkap mencuri ikan bisa disita, lalu dilelang dan uangnya digunakan untuk pemanfaatan lain seperti beasiswa.

Namun di lapangan, jika disita dan didenda, paling dendanya mencapai Rp 50 juta saja, padahal muatannya ribuan ton ikan dan bisa keluar masuk perairan Indonesia minimal 8 kali.
 
Lalu, jika dilelang, yang beli ya mereka-mereka saja. Susi juga merasa "capek" banyak pihak berkepentingan yang datang untuk menyogok pembebasan kapal mereka.

"Dukungan saya dari Presiden dan Undang-Undang. Mungkin betul nama saya jadi identik dengan penenggelaman. Tapi Undang-undang itu sudah ada jauh sebelum saya jadi menteri," pungkas Susi.

Kompas TV Kapal Berbendera Malaysia Ditenggelamkan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Enzy Storia Keluhkan Bea Masuk Tas, Stafsus Sri Mulyani: Kami Mohon Maaf

Enzy Storia Keluhkan Bea Masuk Tas, Stafsus Sri Mulyani: Kami Mohon Maaf

Whats New
Waskita Karya Optimistis Tingkatkan Pertumbuhan Jangka Panjang

Waskita Karya Optimistis Tingkatkan Pertumbuhan Jangka Panjang

Whats New
Apresiasi Karyawan Tingkatkan Keamanan dan Kenyamanan di Lingkungan Kerja

Apresiasi Karyawan Tingkatkan Keamanan dan Kenyamanan di Lingkungan Kerja

Whats New
Potensi Devisa Haji dan Umrah Capai Rp 200 Triliun, Menag Konsultasi dengan Sri Mulyani

Potensi Devisa Haji dan Umrah Capai Rp 200 Triliun, Menag Konsultasi dengan Sri Mulyani

Whats New
Kartu Prakerja Gelombang 68 Sudah Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Kartu Prakerja Gelombang 68 Sudah Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Whats New
MARK Tambah Jajaran Direksi dan Umumkan Pembagian Dividen

MARK Tambah Jajaran Direksi dan Umumkan Pembagian Dividen

Whats New
Miliki Risiko Kecelakaan Tinggi, Bagaimana Penerapan K3 di Lingkungan Smelter Nikel?

Miliki Risiko Kecelakaan Tinggi, Bagaimana Penerapan K3 di Lingkungan Smelter Nikel?

Whats New
Pemerintah Akan Revisi Aturan Penyaluran Bantuan Pangan

Pemerintah Akan Revisi Aturan Penyaluran Bantuan Pangan

Whats New
Kolaborasi Pentahelix Penting dalam Upaya Pengelolaan Sampah di Indonesia

Kolaborasi Pentahelix Penting dalam Upaya Pengelolaan Sampah di Indonesia

Whats New
Menteri Teten Ungkap Alasan Kewajiban Sertifikat Halal UMKM Ditunda

Menteri Teten Ungkap Alasan Kewajiban Sertifikat Halal UMKM Ditunda

Whats New
Viral Video Petani Menangis, Bulog Bantah Harga Jagung Anjlok

Viral Video Petani Menangis, Bulog Bantah Harga Jagung Anjlok

Whats New
9,9 Juta Gen Z Indonesia Tidak Bekerja dan Tidak Sekolah

9,9 Juta Gen Z Indonesia Tidak Bekerja dan Tidak Sekolah

Whats New
Rombak Direksi ID Food, Erick Thohir Tunjuk Sis Apik Wijayanto Jadi Dirut

Rombak Direksi ID Food, Erick Thohir Tunjuk Sis Apik Wijayanto Jadi Dirut

Whats New
OJK Bakal Buka Akses SLIK kepada Perusahaan Asuransi, Ini Sebabnya

OJK Bakal Buka Akses SLIK kepada Perusahaan Asuransi, Ini Sebabnya

Whats New
Gelar RUPST, KLBF Tebar Dividen dan Rencanakan 'Buyback' Saham

Gelar RUPST, KLBF Tebar Dividen dan Rencanakan "Buyback" Saham

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com