Oleh Estu Suryowati
KOMPAS.com – Ketika mendengar kata ‘May Day’, hal yang paling terbesit di benak adalah penolakan upah murah dan penolakan pemutusan hubungan kerja sepihak.
Tapi tampaknya, memang isu abadi ini akan selalu ada dalam hubungan industrial. Tak hanya di pabrik-pabrik sepatu, otomotif, atau di pelabuhan. Masalah seperti itu pun jamak muncul di industri media.
Bahkan masalah di industri media lebih kompleks, karena ada juga masalah yang melibatkan (maunya) pemilik media, ruang redaksi, dan isi.
“Kebanyakan (pemilik) media tidak memberi ruang pada jurnalis untuk bersikap,” kata Bai (29) seorang asisten redaktur sebuah media online yang bermarkas di Tebet, Jakarta, kepada Kompas.com, Sabtu (30/4/2016).
Sudah empat tahun Bai berprofesi sebagai jurnalis. Dia mengakui terkadang ada ‘paksaan’ untuk menulis sesuatu di luar yang ditemukannya di lapangan.
“Kalau tidak sesuai dengan sikap redaksi, kan potensi diubah. Bahkan tidak terbit (sama sekali),” imbuh lulusan Fakultas Filsafat UGM itu.
Hal serupa dikeluhkan oleh Ari (26), mantan jurnalis media daring yang beralamatkan di kawasan industri Pulogadung.
Di kantor lamanya, kata Ari, berita-berita sarat berpihak pada (kepentingan) pemilik. “Enggak bisa 'menyikut' perusahaan pemilik yang bermasalah. Misal (perusahaan itu) banyak utang,” ucap lulusan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI itu.
Selain soal isi dan pemilik, PHK sepihak juga menjadi momok bagi pekerja media sewaktu-waktu.
Kejadian tidak menyenangkan dialami Lia (32) dan sejumlah rekannya dari kantor lamanya yang berlokasi di Senayan. “Pesangon enggak dibayar. Dicuekin (manajemen),” keluh Lia.
Setahun sejak menjadi bagian dari kantor itu, yakni pada 2011, sebenarnya sudah banyak PHK karena demo kebijakan pemotongan gaji. Lia bilang, waktu itu dirinya yang duduk sebagai asisten redaktur mendapat pemotongan gaji sampai 25 persen.
Hingga pada akhirnya gelombang PHK terus-menerus terjadi, sampai koran itu tutup, dan sejumlah karyawan belum menerima haknya secara penuh.
Nihilnya Serikat Pekerja
Ketiadaan serikat pekerja di sejumlah media juga menjadi catatan penting lemahnya kedudukan buruh media.