KOMPAS.com - Selama hampir sepuluh tahun saya bekerja pada industri periklanan, bukan sekali dua kali saya melihat – bahkan terjebak – dalam konflik antara bagian kreatif dengan bagian account executive (AE/pemasaran).
Bahkan di tahun-tahun pertama saya bekerja, beberapa kali saya bersikap agak berlebihan dan keras terhadap beberapa AE di tempat saya bekerja.
Masalah klasik ini masih terus terjadi sampai hari ini. Bagian kreatif berpendapat, para AE selalu membela klien tanpa mempertimbangkan sisi kreatif, tidak bisa membuat brief yang inspiring bahkan seringkali hanya menjadi ‘kurir’ dari klien.
Sedangkan dari sisi bagian AE mereka berpendapat bahwa orang-orang kreatif itu selalu mau menang sendiri, moody, manja dan tidak pernah mau berpikir tentang keberlangsungan bisnis.
Tulisan ini tidak akan membahas mana yang benar dan mana yang salah, melainkan berusaha untuk menjelaskan lebih lanjut penyebab konflik klasik tersebut.
Semenjak bangku perguruan tinggi, para kreatif dan para AE telah menggunakan bahasa yang berbeda untuk mempelajari periklanan.
Para kreatif art-based berasal dari sekolah desain dan para copywriter banyak berasal dari sekolah sastra. Para kreatif ini berbicara dengan menggunakan bahasa dan sudut pandang kreatif dan artistik.
Mereka dilatih untuk menghasilkan suatu karya yang mempunyai nilai seni – dengan atau tanpa unsur komersil di dalamnya. Mereka mampu selama berjam-jam melakukan eksperimen dengan visualisasi dan permainan kata di depan komputer.
Sedangkan para AE banyak berasal dari sekolah pemasaran. Mereka terlatih untuk menjual – apapun produknya dan mereka terus-menerus dilatih untuk menjualnya.
Mereka diajarkan bahwa segala tindakan mereka harus mendapatkan profit. Mereka banyak menghabiskan waktu mereka untuk berdiskusi tentang perkembangan terbaru pada pasar dan industri.
Bayangkan, ada jurang komunikasi yang begitu dalam mulai dari perguruan tinggi. Jadi konflik antara bagian kreatif dengan bagian pemasaran kiranya tidak tercipta serta-merta di tempat kerja.
Perbedaan bahasa tersebut telah ada dan telah lama terjadi. Masing-masing berbicara dengan bahasa masing-masing dan tak menyadari pihak lain bicara dengan bahasa yang berbeda.
Harusnya satu bahasa
Lalu bagaimana penyelesaiannya? Bagaimana menyamakan bahasa tersebut? Tentunya harus dimulai dari perguruan tinggi. Sebab jika hanya diselesaikan di tempat kerja, maka generasi berikutnya akan mengalami konflik yang sama. Berulang dan berulang lagi.
Saat ini jurusan periklanan pada perguruan tinggi banyak juga disebut dengan jurusan komunikasi pemasaran atau marketing communications. Mata kuliah IMC pun juga menjadi salah satu yang wajib dipelajari oleh siswa jurusan Public Relations, bahkan juga ada di jurusan manajemen Fakultas Ekonomi.