Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Andai Nabi Yusuf Hidup pada Era Minyak, seperti Apa Tafsir Mimpinya?

Kompas.com - 31/05/2016, 13:06 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

KOMPAS.com — Barangkali, bila Nabi Yusuf atau Yosef dalam penyebutan lain hidup pada era minyak bumi, mimpi yang harus ditakwilkannya adalah soal pengelolaan emas hitam ini. Terlebih saat energi dunia begitu tergantung pada minyak seperti sekarang.

Tampaknya, mimpi tentang tujuh sapi gemuk dan tujuh sapi kurus yang ditakwilkan Yusuf sedang terulang kembali walau dalam rupa dan konteks berbeda. Meski persoalan pangan, sebagaimana kisah tersebut masih terus relevan, minyak juga punya cerita serupa, setidaknya di Indonesia.

Pesan moral dalam kisah Yusuf tentang pandai-pandai mengelola dan menyimpan pasokan saat berlimpah sebelum masa sulit datang, terjadi juga di sini. Era "booming" minyak dari angka produksi hingga harga jual tinggi tinggal kenangan.

Terlepas dari andai-andai soal mimpi dan takwil tersebut, Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo mengawali masa kerja pada 2014 dengan tantangan soal subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kuota subsidi ini sudah terlewati jauh-jauh hari sebelum tahun berakhir karena lonjakan konsumsi BBM bersubsidi.

Pernah menjadi salah satu pesohor di antara negara-negara penghasil dan pengekspor minyak, Indonesia pada hari ini justru sudah kerap disebut sebagai net importer komoditas ini. Betul, masalah subsidi ini menjadi pelik karena sebagian produk BBM yang dipakai masyarakat berasal dari impor.

Bersamaan pada saat itu kurs rupiah terhadap dollar AS juga sedang "panas-dingin" di tengah rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed, bank sentral Amerika Serikat. (Baca: Pak Jokowi, Beker Sudah Berbunyi Nyaring…).

Kesadaran mengenai perlunya mencari cara menekan angka impor minyak pun menguat. Eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber cadangan minyak baru pun berdengung kembali, di luar desakan tentang perbaikan tata niaga sumber energi ini.

Ghulam/KompasOtomotif Pertalite resmi uji pasar di wilayah Sulawesi Utara, Sabtu (26/3/2016).

Namun, satu hal tak terduga lalu terjadi. Perekonomian dunia yang tak kunjung pulih sesuai harapan mendapat tamparan baru berupa anjloknya harga minyak dunia. Dari kisaran di atas 100 dollar AS per barrel pada Juni 2014, harga minyak sampai dengan medio 2016 masih tertatih di bawah angka 50 dollar AS per barrel. Pada 2015, harga minyak malah bertengger di kisaran 30 dollar AS.

Kenapa pusing?

Bila tak mengikuti isu soal minyak, orang akan gampang mempertanyakan kenapa justru nada suram yang mencuat ketika harga minyak murah seperti sekarang. Logikanya, harga minyak murah, maka semua produk turunannya bakal turun.

Dalam konteks Indonesia, logika tersebut langsung mentah dengan fakta pemenuhan kebutuhan BBM yang sudah bertumpu pada impor. Lagi-lagi soal volume dan pembelian dalam dollar AS dengan nilai tukar rupiah yang tak kunjung menguat terhadap greenback menjadi persoalan utamanya.

Tantangan berikutnya, kesadaran untuk memperbarui dan memperbanyak sumber minyak dalam negeri pun mandek. Jangankan bertambah, yang sudah ada pun sekarang lesu. Sederhananya, ongkos produksi tetap mahal, sementara harga jual minyak mentah sedang murah-murahnya. Investasi pun dengan sendirinya menjadi tantangan baru.

Gambarannya, penerimaan negara dari sektor minyak dan gas pada 2015 hanya 12,86 miliar dollar AS, meleset dari target 14,99 miliar dollar AS. Angka realisasi itu cuma separuh penerimaan pada 2014. Mengutip data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2016, dana bagi hasil untuk wilayah produsen minyak pun anjlok dari Rp 42,91 triliun pada 2014 menjadi Rp 14,09 triliun pada 2015.

"Banyak kontraktor migas yang melakukan efisiensi dan menghentikan kegiatan investasi sehingga sektor industri penunjang migas juga mengalami kelesuan akibat tidak adanya investasi," ujar Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam acara The 40th Indonesian Petroleum Association (IPA) Convention and Exhibition, Rabu (25/5/2016), seperti dikutip dari situs web Kementerian Koordinator Perekonomian.

Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menegaskan, sudah bukan waktunya mengeluhkan situasi ini. Masa indah di sektor migas, ujar dia, memang sudah berlalu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bank Sentral Eropa Bakal Pangkas Suku Bunga, Apa Pertimbangannya?

Bank Sentral Eropa Bakal Pangkas Suku Bunga, Apa Pertimbangannya?

Whats New
Pasokan Gas Alami 'Natural Decline', Ini Strategi PGN Jaga Distribusi

Pasokan Gas Alami "Natural Decline", Ini Strategi PGN Jaga Distribusi

Whats New
BTN Pastikan Dana Nasabah Tidak Hilang

BTN Pastikan Dana Nasabah Tidak Hilang

Whats New
Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Work Smart
Peringati Hari Buruh, SP PLN Soroti soal Keselamatan Kerja hingga Transisi Energi

Peringati Hari Buruh, SP PLN Soroti soal Keselamatan Kerja hingga Transisi Energi

Whats New
Cara Pasang Listrik Baru melalui PLN Mobile

Cara Pasang Listrik Baru melalui PLN Mobile

Work Smart
Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Whats New
Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Whats New
Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Whats New
Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Whats New
Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Whats New
Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Whats New
Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Whats New
Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Whats New
Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com