Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisnis Warteg, Harusnya Tidak Dirazia tetapi Dikelola

Kompas.com - 17/06/2016, 11:17 WIB
Murniati Mukhlisin

Penulis

KOMPAS.com - Berita tentang bisnis warteg Bu Eni yang dirazia berhasil menuai simpati. Dalam dua hari terkumpul Rp. 176 juta sumbangan dalam bentuk uang untuk membantu kelanjutan bisnisnya.

Terlepas dari yang bersikap pro dan kontra, bagaimana kalau kita berlomba–lomba mengusulkan perbaikan?

War-Teg (baca: Warung Tegal)

Bisnis keluarga seperti ini luar biasa, dibuat semurah mungkin, mudah diakses terutama oleh kalangan mahasiswa, bisa memberi hutang bayar di akhir bulan, dan di kebanyakan tempat nampak bersih dan mengebul.

Penjualnya berpakaian sederhana tidak ada seragam khusus, nampak orang daerah dengan logat khas kota Tegal. Kabarnya para pebisnis warteg ini punya rumah mewah di kampung asalnya seperti di Sidapurna dan Sidakaton.

Apapun, ini bukan urusan kita, itulah hasil kerja keras mereka selama ini.

Menyerupai bisnis musiman, bisnis warteg juga ada waktunya harus libur. Namun di benak pebisnis biasanya tertanam prinsip - prinsip seperti ini: Bukannya bisnis itu tidak boleh berhenti? Jadilah pebisnis yang mampu menangkap peluang kapan saja, pelanggan yang tidak wajib puasa atau tidak puasa tetap harus dilayani, dan banyak lagi prinsip lainnya.

Biasanya rinsip - prinsip ini dianggap “wajib dilakoni” oleh para pemula atau pebisnis yang sedang mencari tambahan penghasilan untuk mengatasi masalah keuangan keluarganya.

Bulan Ramadhan dan bulan lainnya

Ternyata, bukan hanya di bulan Ramadhan bisnis makanan kurang pembeli di waktu siang hari. Bagaimana ketika hari – hari lebaran tiba?

Kebanyakan orang cenderung ingin makan ketupat dibanding makanan warteg. Nasib pedagang warteg dialami juga oleh pedagang makanan lainnya seperti kue Lebaran yang hanya laku di bulan Ramadhan dan Syawal, pedagang baju sekolah yang hanya laku keras di bulan Juni dan Juli.

Selaku anggota keluarga yang aktif dalam bisnis dagang makanan yang terkenal dengan “Pempek Fo Tjoe”, “Kopi Cap Ayam Jago” dan toko klontongan “Belinyu” di kota Baturaja, Sumatera - Selatan, penulis menghadapi langsung bagaimana arus naik turunnya bisnis –bisnis ini.

Di negara empat musim, masalah bisnis musiman juga sangat terasa, misalnya pedagang es krim yang hanya laku sekitar 4 bulan dalam setahun yaitu hanya di musim panas.

Belum lagi peputaran penjualan baju musim panas, gugur, dingin dan semi yang silih berganti model dan level kenyamanan.

Tentunya, untuk tetap eksis, bisnis musiman di atas memerlukan pengelolaan yang cermat dan bijak.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com