JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Satu Keadilan (YSK) salah satu penggugat Undang-undang (UU) pengampunan pajak atau Tax Amnesty menangganggap dana yang akan direpatriasi atau dideklarasikan dalam kebijakan Tax Amnesty merupakan dana haram dari praktek-praktek ilegal.
"Itu (Dana) Hasil korupsi yang disimpan di luar negeri, hasil transaksi narkoba, transaksi pencucian uang disimpan disana. Tidak logis dalam satu bisnis bisa dihimpun keuntungan yang berlebih," katanya Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso di dalam sebuah diskusi "Ada Apa Dibalik UU Tax Amnesty" di Jakarta, Kamis (14/7/2016).
Sugeng menuturkan kebijakan UU Pengampunan Pajak hanya untuk melindungi kepentingan pihak-pihak tertentu saja. Menurut dia, dalam kebijakan UU Pengampunan Pajak ini, pemerintah akan merahasiakan nama-nama Wajib Pajak (WP) yang akan mendaftarkan hartanya.
"Jadi UU ini satu praktek legal untuk pencucian uang. Karpet merah pelaku pencucian uang. UU ini menempatkan ada orang yang very important person dan memfasilitasi mereka serta mendegradasikan rakyat lainnya," ucapnya.
Sugeng mengungkap dalam UU Tax Amnesty terdapat kejanggalan pasal 20 yang menyatakan bahwa data informasi dari dokumen tax amnesty tersebut tidak dapat dijadikan penyelidikan pidana dari WP.
"Pasal 20 itu disebut bahwa data tersebut tidak dapat dijadikan bahan penelusuran tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lain. Artinya dengan dimasukkkannya tindak pidana lain dalam UU itu membuat bangunan negara hukum kita sudah runtuh dengan UU tax amnesty," tandasnya.
Namun, dirinya juga menyesalkan kebijakan UU Tax Amnesty hanya berlaku sampai pada 31 Maret 2017. Itu Artinya kebijakan itu tidak sampai pada sistem yang mendukung pertukaran informasi rekening wajib pajak antarnegara atau Automatic Exchange System of Information (AEoI).
"UU ini berlaku sampe maret 2017, sebelum berlakunya AEoI. Jadi kejar-kejaran nih, terbukanya data Panama Papers, AEoI. Padahal prinsip negara kita sedang ditumbangbalikkan," pungkasnya.