Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/08/2016, 19:45 WIB
Sri Noviyanti

Penulis


MEDAN, KOMPAS.com
– "Daripada (mengambil langkah) pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan, kami memilih bertahan..."

Kalimat yang kurang lebih sama seperti itu meluncur hampir dari setiap usaha padat energi yang ditemui Kompas.com di Medan, Sumatera Utara.

Inilah kota yang punya sejarah panjang industri dan perekonomian, tapi terus terseok-seok soal energi. Terakhir, kota ini harus menanggung harga mahal untuk gas alam.

“Jangankan dengan produk luar (negeri). Dengan produk dari Pulau Jawa yang ekspedisinya memakan biaya saja, (produk) kami tak mampu bersaing (karena lebih mahal),” ujar Plant Manager PT Kedaung Medan Industrial, Sugianto, Kamis (26/8/2016).

Di kota ini, gas alam yang penyalurannya sekarang dikelola PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dikenakan tarif 12,2 dollar AS per MMBTU. Di wilayah lain, banderol harga di bawah 10 dollar AS per MMBTU.

Padahal, sejarah pemanfaatan gas alam di sini pun sama panjangnya. Kota ini pun sempat direncanakan menjadi salah satu pengembangan industri di luar Pulau Jawa.

Ada apa? Apa kisah perjalanan pemanfaatan gas alam di Kota Medan? Kenapa ada harga yang sampai berbeda dengan wilayah lain?

Pasar yang runtuh

Industri tempat bekerja Sugianto adalah pabrik kaca yang memproduksi berbagai peralatan rumah tangga dan glass-block. Bagi industri ini, gas adalah bahan bakar utama operasional.

Bahan bakar ini digunakan mulai dari peleburan bahan baku sampai alur produksi lainnya, seperti pencetakan dan pres. Tanpa gas, pembakaran tidak akan sempurna. 

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES Salah satu proses produksi di PT Kedaung Medan Industrial yang menggunakan gas alam. Gambar diambil pada Kamis (25/8/2016)

"Karena gas (di sini) saat ini mahal, kami memakai bahan bakar lain untuk proses peleburan. Namun untuk alur produksi setelah peleburan, kami tidak bisa beralih dari gas. Pembakaran dengan menggunakan selain gas akan mempengaruhi kualitas produk," ungkap Sugianto.

Di tengah wawancara, Sugianto kerap kedapatan menatap nanar melihat para pekerjanya, dari balik jendela kantor yang ada di lantai dua salah satu sisi dalam gedung pabrik. Lokasi kerja pegawainya ada di lantai dasar, berseberangan sisi dengan kantornya. 

Sugianto sudah bekerja di perusahaan tersebut sejak 1979, tepat saat pabrik ini mulai beroperasi.

“Waktu itu saya memulai karier sebagai operator. Saya mengalami betul jatuh-bangun pabrik ini. Dari jaya sampai seperti sekarang,” ujar Sugianto dengan pandangan masih menerawang.

Kompas Video Api Semangat dari Kedaung

Kenangan mebawanya bercerita. Pada 1990-an, kata dia, pabrik ini mulai mengekspor produk buatannya. Puncak kejayaan terjadi pada rentang 2000 sampai 2005, ketika 60 persen produk pabrik diekspor.

Namun, arah angin mendadak berubah. Pasokan gas mendadak tersendat. Baru belakangan, pasokan mulai mengalir lancar lagi, tetapi masalah baru muncul: harga.

“Sayangnya setelah itu, gas bumi perlahan-lahan naik (harga). Industri kian terjepit. Imbasnya harga pokok produksi (HPP) kian tinggi,” ujar Sugianto.

Dari semula empat pabrik, sekarang hanya ada dua pabrik yang rutin beroperasi.

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES Salah satu produk PT Kedaung Medan Industrial yang produksinya menggunakan gas alam. Gambar diambil pada Kamis (25/8/2016)

“Berbicara produksi kaca, yang diperhatikan betul adalah stabilnya suhu pembakaran. Maka dari itu, kami tak bisa mengganti (bahan bakar ini) dengan yang lain,” tegas Sugianto.

Langkah lain untuk penghematan adalah merampingkan jumlah karyawan. Akan tetapi cara itu dihindari mengingat sumber daya manusia (SDM) tak berjumlah banyak. Sekarang tercatat ada 800 pekerja di pabrik ini.

Terlebih lagi, lanjut Sugianto, hampir semua pekerja di pabrik itu adalah warga sekitar lokasi perusahaan di Kecamatan Tanjung Morawa. Pada masa jaya, karyawan pabrik pernah mencapai 2.000 orang

“Jumlah itu sudah karyawan tetap semua. Susah sekali untuk menambah (karyawan) lagi. Padahal, banyak anak dari pekerja yang sudah lulus sekolah dan mau bekerja di sini, tetapi terpaksa kami tolak,” ungkap Sugianto.

Pada masa keemasan produksi Kedaung di Medan, pemakaian gas per bulan sempat mencapai 2 juta meter kubik. Sekarang, tak jauh-jauh dari rata-rata 500.000 sampai 600.000 meter kubik per bulan.

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES Salah satu produk PT Kedaung Medan Industrial yang menggunakan produksinya memakai gas alam. Gambar diambil pada Kamis (25/8/2016)

“Ya sekarang kami hanya menjalankan apa yang bisa diupayakan. Terus berproduksi walaupun mau tidak mau pasar pasti terganggu. (Pasar) kami stagnan, tidak ada (lagi) peningkatan luar biasa seperti dulu,” ujar Sugianto.

Layu sebelum berkembang

Cerita senada juga datang dari industri keramik PT Jui Shin Indonesia. Di industri ini, komponen gas menggunakan alokasi sampai 40 persen biaya produksi.

Gas menjadi kebutuhan mutlak untuk mengangkat suhu hingga 1.250 derajat Celcius di alur produksi industri keramik.

Suhu ini bisa didapatkan saat mesin di bagian tersebut menyala tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam.

“Pada 2010 saat pabrik kedua mau berdiri, kami kirim surat ke Perusahan Gas Negara (PGN) untuk jaminan gas. Dijawabnya ada," ujar lugas Staf Direksi PT Jui Shin Indonesia, Habib, yang ditemui Kompas.com pada hari yang sama.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com