Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upah Tak Dibayar, Gelombang Unjuk Rasa Pekerja Pecah di China

Kompas.com - 18/10/2016, 18:00 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis

GUANGDONG, KOMPAS.com - Gelombang unjuk rasa pecah di provinsi Guangdong, China. Pekerja pabrik, buruh konstruksi, guru taman kanak-kanak, caddy di padang golf, staf bar karaoke, hingga pekerja sanitasi menuntut upah yang tak kunjung dibayar.

Sejalan dengan perekonomian China yang melemah, banyak perusahaan yang terlilit masalah atau bahkan bankrut. Sehingga, unjuk rasa dan aksi protes pun terjadi di berbagai penjuru Negeri Tirai Bambu tersebut.

Selama tahun 2016 ini saja, ada 2.044 insiden unjuk rasa yang terjadi di China. Angka tersebut jauh meningkat dibandingkan 1.379 insiden pada tahun 2014 silam.

Salah satu pusat terjadinya gelombang unjuk rasa adalah Guangdong yang kerap disebut "pabriknya dunia" lantaran di provinsi tersebut terdapat pabrik mainan, sepatu, pakaian, hingga furnitur yang produknya tersebar ke seluruh dunia.

Pada bulan Agustus 2016 saja, ada 31 aksi unjuk rasa yang dilakukan para pekerja di Guangdong.

Wu Guijin, seorang aktivis pekerja yang tinggal di Guangdong menyatakan, ia telah melihat adanya peningkatan jumlah pabrik yang gulung tikar di provinsi itu.

"Selama Tahun Baru Imlek, pekerja kembali dari liburan dan ketika mereka kembali, sudah tertempel peringatan bangkrut di pintu pabrik. Upah tidak dibayarkan penuh dan bosnya pergi tanpa jejak," ujar Wu.

Insiden unjuk rasa kini sudah menjadi pemandangan umum di Guangdong. Pada bulan September 2016 lalu, misalnya, 130 orang pekerja restoran mengadakan unjuk rasa setelah bosnya kabur.

Mereka memblokade jalan, bentrok dengan polisi, dan mengancam akan terjun dari atap gedung.

Permasalahan ini terjadi di banyak sektor, termasuk pengembang properti, perusahaan konstruksi, manufaktur elektronik, tekstil, pabrik ponsel, baja, mainan, furnitur, dan sebagainya.

Menurut Ni Hong Ping, seorang aktivis pekerja, umumnya pekerja yang terkena PHK berusia 40 tahunan.

"Mereka sudah akan mencapai usia pensiun, tapi mereka tidak punya uang pensiun, tidak punya asuransi, dan hanya sedikit tabungan. Banyak anak mereka akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Para pekerja ini menghadapi tekanan finansial yang besar," ungkap Ni.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com