Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudiyanto
Direktur Panin Asset Management

Direktur Panin Asset Management salah satu perusahaan Manajer Investasi pengelola reksa dana terkemuka di Indonesia.
Wakil Ketua I Perkumpulan Wakil Manajer Investasi Indonesia periode 2019 - 2022 dan Wakil Ketua II Asosiasi Manajer Investasi Indonesia Periode 2021 - 2023.
Asesor di Lembaga Sertifikasi Profesi Pasar Modal Indonesia (LSPPMI) untuk izin WMI dan WAPERD.
Penulis buku Reksa Dana dan Obligasi yang diterbitkan Gramedia Elexmedia.
Tulisan merupakan pendapat pribadi

Memilih Reksa Dana, yang Harganya Sudah Tinggi atau yang Masih Rendah?

Kompas.com - 31/10/2016, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

KOMPAS.com - Dengan jumlah reksa dana yang semakin banyak, pemilihan reksa dana menjadi tantangan baru tersendiri. Ada reksa dana yang baru terbit sehingga harganya baru 1000an, ada juga yang sudah belasan tahun yang lalu sehingga harganya juga puluhan ribu. Sebagai investor, apakah sebaiknya memilih yang harganya tinggi atau yang masih rendah ?

Dengan tingkat literasi keuangan khususnya pasar modal yang masih relatif rendah di Indonesia, banyak investor masih menyamakan investasi reksa dana dengan investasi konvensional seperti properti dan saham. Pada properti dan saham, harga masih menjadi pertimbangan utama dalam pembelian.

Ketika membeli properti, umumnya orang akan memperhatikan harga. Baik itu harga properti secara keseluruhan ataupun harga properti per meter persegi. Logika yang digunakan oleh orang awam adalah jika harganya sudah tinggi, maka potensi untuk naik juga akan semakin terbatas.

Harga properti atau tanah yang masih ratusan ribu atau jutaan per meter secara umum akan dilihat lebih berpotensi naik dibandingkan harga properti atau tanah yang sudah puluhan juta.

Untuk investasi saham juga demikian. Umumnya bagi investor pemula, saham dengan harga masih rendah misalkan dibawah Rp 5.000 akan lebih menarik dibandingkan saham dengan harga puluhan ribu. Adanya stock split memperkuat persepsi bahwa harga saham yang sudah mencapai puluhan ribu, memang harus dikecilkan supaya potensi kenaikannya lebih besar.

Pendapat di atas bisa benar bisa salah karena sangat bergantung pada pengalaman masing-masing orang dalam berinvestasi di instrumen tersebut. Namun sebagai seorang praktisi di pasar modal, menurut saya dalam berinvestasi, daripada harga, yang lebih penting adalah imbal hasil atau Yield.

Misalkan ada dua properti katakanlah A yang merupakan kelas menengah dan B yang merupakan kelas atas. Harga properti A adalah Rp 2 miliar dan harga properti B adalah Rp 10 miliar. Secara umum investor akan beranggapan bahwa properti B lebih mahal daripada A. Namun dari sudut pandang pasar modal, yang dilihat bukanlah harga semata tapi juga imbal hasil.

Misalkan properti A jika disewakan, dalam kondisi pasar sekarang kurang lebih akan mendapatkan kontrak senilai Rp 100 juta per tahun atau 5 persen dari nilai properti. Properti B, karena terletak di lokasi premium dengan desain interior yang mewah, amat menarik perhatian dari para ekspatriat. Properti tersebut bisa laku dengan katakanlah sewa Rp 750 juta per tahun atau 7,5 persen dari nilai propertinya.

Dari sudut pandang pasar modal, maka properti B lebih murah dibandingkan properti A karena mampu memberikan imbal hasil atau yield yang lebih tinggi. Sebab fokusnya bukanlah pada harga, tapi berapa pengembalian yang bisa diterima oleh investor dengan berinvestasi pada aset tersebut.

Tentu, ada yang bisa berpendapat bahwa dengan harga Rp 10 miliar, tentu yang mampu membeli hanya segelintir orang sehingga permintaan dan penawarannya juga terbatas. Dengan harga Rp 2 miliar, unit yang diperoleh bisa lebih banyak dan kelompok masyarakat yang mampu membeli juga lebih banyak.

Dalam kacamata pasar modal, kondisi di atas disebut dengan likuiditas. Artinya properti dengan harga yang lebih rendah akan lebih likuid dibandingkan dengan yang harganya lebih tinggi. Namun bukan berarti jika tidak likuid, potensi kenaikannya lebih terbatas. Jika memang imbal hasilnya baik, tentu peminatnya akan selalu ada.

Dari sisi administrasi, proses tanda tangan dan perjanjian untuk 5 properti tentu akan lebih merepotkan dibandingkan 1 properti. Jadi lebih likuid, bukan berarti lebih mudah dijual. Untuk properti yang membutuhkan proses balik nama, tentu biaya notaris yang dikeluarkan juga lebih banyak.

Untuk investasi saham juga demikian. Setiap saham memiliki harga wajar yang bisa dihitung dengan berbagai metode seperti Price Earning Ratio (PER), Price to Book Value Ratio (PBV), Net Present Value (NPV), dan sebagainya. Saham dengan harga Rp 50.000 tidak berarti mahal jika harga wajarnya adalah Rp 40.000. Sebaliknya saham dengan harga Rp 1000 belum tentu murah jika harga wajarnya ternyata Rp 2000.

Manajer Investasi yang berpengalaman akan berfokus pada harga wajar perusahaan, bukan nominal harga pasarnya. Dari sisi administrasi, transaksi saham otomatis akan jauh lebih likuid dan mudah karena tidak ada proses balik nama setiap kali terjadi jual beli.

Memang untuk harga saham yang sudah tinggi, karena hitungan transaksi 1 lot = 100 lembar, maka jumlah uang yang dibutuhkan untuk transaksi juga akan lebih besar. Namun hal ini juga tidak menjadi masalah karena bagi investor institusi, modal investasinya sudah mencapai miliaran bahkan ratusan miliar atau triliunan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com