Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meski DPR Tak Setuju, Menteri BUMN Tetap "Ngotot" dengan PP 72/2016

Kompas.com - 24/01/2017, 14:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Bandan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno akan tetap mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT) tanpa harus persetujuan DPR.

Di sisi lain, DPR DPR melarang hal tersebut. Menurut Rini, PP Nomor 72 tahun 2016 tersebut tidak dapat dilihat sepotong-potong tetapi harus dikaitkan dengan aturan yang lainnya. "Tidak bisa dilihat PP 72 tahun 2016 saja," kata Rini, Selasa (24/1/2017).

Salah satu beleid yang berkaitan dengan PP Nomor 72 tahjn 2016 itu adalah PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada BUMN. Selain itu berkaitan pula dengan Undang-Undang (UU) tentang BUMN dan UU tentang Keuangan Negara.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana mengatakan, terbitnya PP Nomor 72 tahun 2016 ini cacat hukum karena belum ada ketentuan yang lebih tinggi mengaturnya. Dengan demikian, secara politik seharusnya aturan ini tidak dapat berjalan. "Tidak boleh PP melampaui UU," kata Azam.

Azam menambahkan, bila kebijakan ini tetap diberlakukan oleh pemerintah, maka akan ada konsekuensi yang bakal ditanggung. Oleh karena itu, Komisi VI mengharapkan klarifikasi dari Menteri BUMN atas terbitnya ketentuan ini.

Komisi VI menurut Azam tidak pernah melarang Menteri BUMN untuk datang ke DPR. Agar persoalan-persoalan yang berkaitan dengan BUMN ini dapat segera terselesaikan, Azam berharap agar pimpinan DPR mencabut surat yang berisi larangan menteri BUMN hadir di DPR.

"Kami perlunya kepada Menteri BUMN, bukan pada menteri yang lain seperti Menteri Keuangan," kata Azam.

Sebelumnya, beberapa pakar di bidang tata negara menilai bila terbitnya PP ini tidak menyimpang dari peraturan yang ada. Pasalnya, dalam beleid yang diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir tahun lalu tersebut hanya untuk mengatur proses holding perusahaan-perusahaan BUMN, tidak pengalihan saham kepada swasta.

Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, PP 72 tahun 2016 tersebut masih mengisyaratkan adanya kontrol dari DPR. "Holding BUMN niatnya baik, tetapi pelaksanaanya jangan salah. Tetap memperhatikan pengawasan DPR," kata Jimly.

Dalam kebijakan holding BUMN, status kepemilihan perusahaan masih sama yakni pemerintah. Sehingga, tidak ada kekayaan negara yang berpindah tangan. Jimly berpandangan bila PP ini dapat tetap dijalankan.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva. Menurutnya, bila bentuk dari aksi korporasi yang dilakukan oleh BUMN tersebut tidak berupa privatisasi, namun masih dalam satu induk kepemilikan yang sama, maka hal tersebut tidak perlu dipersoalkan.

Menurut Hamdan, yang perlu dicatat dalam garis pengawasan yang dilakukan oleh DPR ialah kementerian yang bertanggung jawab. Namun, dalam ranah politik DPR sah-sah saja melakukan pengawasan terhadap perusahaan BUMN. (Handoyo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com