Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CITA: Kasus Freeport Jadi Momentum Reformasi Fiskal

Kompas.com - 23/03/2017, 21:00 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik yang tengah terjadi antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah dinilai bisa menjadi momentum peletakan dasar-dasar reformasi fiskal, sehingga menjamin kesinambungan fiskal maupun investasi.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, investasi menuntut integrasi kebijakan yang menjadi terciptanya certainty (kepastian), clarity (kejelasan) dan consistency (konsistensi) di bidang fiskal.

Namun, faktanya saat ini masih terdapat beberapa disinsentif fiskal yang dirasakan industri hulu migas dan tambang. Salah satu masalah utama adalah ketiadaan ketentuan assume and discharge yang menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian hukum.

"Kasus yang menarik perhatian publik saat ini adalah dinamika Freeport Indonesia yang berawal pada diterbitkannya PP Nomor 1 Tahun 2017. Pada prinsipnya, investor membutuhkan jaminan kepastian akan iklim bisnis dan investasi di masa mendatang," kata Yustinus dalam keterangannya, Kamis (23/3/2017).

Menurut Yustinus, satu poin penting yang menjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan Freeport adalah klausul nail down dan prevailing. Pemerintah berpegang pada mandat UU Minerba yang menyatakan bahwa seluruh klausul perpajakan di rezim perizinan IUP/IUPK adalah prevailing, yaitu dinamis, mengikuti perubahan ketentuan yang berlaku.

Sedangkan Freeport tetap meminta sistem nail down, yaitu peraturan yang berlaku adalah peraturan saat kontrak ditandatangani atau perizinan diberikan (statis).

Dalam konteks itu, tuntutan Freeport dapat dipahami sebagai hal yang wajar. Menurut dia, sistem nail down juga tidak tepat jika dipahami semata-mata sebagai keuntungan perusahaan, karena tarif yang rendah, sebab dalam konteks kontrak karya, perusahaan justru membayar PPh (pajak penghasilan) sebesar 35 persen atau jauh di atas tarif yang berlaku yaitu 25 persen dan jenis pungutan negara lainnya.

"Bahkan, pada 2014 sudah tercapai kesepakatan dengan Freeport untuk menaikkan tarif royalti dan membayar bea keluar," terangnya.

Sedangkan, di sisi lain, pemerintah perlu mendapat jaminan bahwa proyek yang dijalankan menguntungkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

"Di titik inilah pemerintah dan Freeport memiliki ruang negosiasi yang terbuka lebar dan saling menguntungkan," pungkas Yustinus.

Kompas TV Setelah Mengancam, Freeport Kembali Lobi Pemerintah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com