DUBAI, KOMPAS.com – Beberapa waktu lalu, pemerintahan presiden AS Donald Trump memberlakukan larangan bagi penumpang beberapa maskapai penerbangan yang melayani penerbangan langsung dari dan ke AS untuk membawa gawai yang lebih besar dari ponsel pintar ke dalam kabin.
Alasan pemberlakuan larangan ini adalah terkait keamanan. Salah satu maskapai yang terdampak larangan tersebut adalah Qatar Airways.
(Baca: Maskapai Timur Tengah Cemaskan Dampak Larangan Bawa Laptop di AS)
CEO Qatar Arways Akbar Al Baker menyatakan larangan tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan.
“Saya pikir larangan ini sama sekali tidak berguna. Orang-orang yang ingin mengganggu penerbangan akan melakukannya dari tempat lain di mana tidak ada larangan itu,” tutur Al Baker seperti dikutip dari CNN Money, Selasa (18/4/2017).
Al Baker juga menyatakan bahwa larangan itu terkesan terburu-buru dan diperkenalkan tanpa ada diskusi sebelumnya. Bahkan, Al Baker pun melontarkan ungkapan sarkastis terhadap larangan membawa laptop ke dalam kabin tersebut.
“Jika (Trump) begini terus, maka pada akhirnya Anda akan melihat penumpang duduk di dalam pesawat hanya mengenakan pakaian dalam dan tidak ada apa-apa lagi,” jelas Al Baker. ‘
Menurut dia, larangan membawa laptop ke dalam kabin bukan cara yang tepat untuk mengatasi permasalahan keamanan. Di masa kini, imbuh Al Baker, ada banyak kecanggihan di bidang sistem deteksi dan ada baik kemajuan itu dimanfaatkan dengan baik.
Qatar Airways telah menelan pil pahit berupa penurunan pemesanan tiket pasca larangan itu diberlakukan. Larangan itu berlaku bagi sembilan maskapai yang terbang langsung dari AS ke Timur Tengah dan Afrika Utara.
Al Baker mengakui adanya penurunan pemesanan tiket, namun jumlahnya masih dapat dipantau dengan baik. Menurut dia, penurunan pemesanan kurang dari 10 per penumpang.
(Baca: Kena Larangan Laptop di Kabin, Etihad Pinjamkan ?iPad? pada Penumpang)
Tiga hari setelah larangan tersebut dijatuhkan, Qatar Airways meminjamkan laptop untuk penumpang kelas bisnis selama perjalanan. Beberapa maskapai Timur Tengah yang turut terkena larangan itu, seperrti Emirates dan Etihad melakukan hal yang sama guna melindungi penumpang premiumnya.