Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budaya Perusahaan dan Regulasi Bikin Garuda Kesulitan

Kompas.com - 15/06/2017, 23:21 WIB
Moh. Nadlir

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio membeberkan sejumlah faktor yang membuat maskapai Garuda Indonesia terus merugi. Pada kuartal I tahun 2017, maskapai milik negara itu mencatatkan kerugian sebesar 98,5 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,31 triliun (kurs 13.300). 

"Bisnis penerbangan itu bisnis cash, bisnis tunai. Untungnya kecil hanya 1-5 persen. Jadi harus hati-hati di bisnis ini. Banyak maskapai penerbangan dunia yang sudah jatuh. Garuda untung 1-2 persen saja sudah bagus," kata Agus di Jakarta, Kamis (15/6/2017).

Agus berujar, salah satu yang membuat rapor keuangan Garuda merah adalah lantaran budaya perusahaan yang susah diubah dari waktu ke waktu.

"Garuda punya culture yang hebat. Kalau tinggal di hotel, minimal hotel bintang lima. Pakai baju batik harus sama, yang mahal. Memang sudah begitu budayanya, susah diubah," kata Agus.

Selain dari budaya perusahaan, regulasi pemerintah juga turut membuat salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu merugi. Misal, ketika Garuda membeli pesawat harus melalui tender. Berbeda dengan maskapai penerbangan milik swasta yang tak perlu demikian.

"Regulasinya berat. Kalau beli pesawat harus tender. Lion kalau beli pesawat, ya sudah beli, kelar," ujar dia.

Jenis pesawat yang dimiliki Garuda juga dinilainya terlalu banyak, padahal tak semua menguntungkan untuk digunakan. Sementara biaya untuk perawatannya tidak murah.

"Ya memang kebijakannya begitu. Jenisnya terlalu banyak sementara biaya maintenance mahal," ungkap dia.

Selain biaya perawatan yang tak murah, biaya bahan bakar pesawat yakni Avtur pun harganya selangit. Bahkan, kata Agus, 20-30 pengeluaran Garuda itu untuk avtur.

"Avtur mahal. Supply hanya dari Pertamina saja, 20-30 persen dari avtur. Garuda agak selamat pas harga avtur turun. Kalau pas naik pasti rugi," kata Agus.

Terakhir, kata Agus, banyak rute Garuda yang juga menjadi pasar maskapai penerbangan asing. Imbasnya, pasar Garuda "dihabisi" oleh maskapai asing.

"Rute banyak, ada 33 rute internasional di Indonesia. Market Garuda dihabisi asing. Harusnya asing kasih saja izin terbang malam. Jadi, ini perlu pembenahan, tidak hanya dari internal Garuda tapi juga sistem regulasi harus direvisi," tutup dia.

Pada kuartal I 2017, Garuda Indonesia mencatatkan kerugian sebesar 98,5 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,31 triliun. Padahal pada kuartal I 2016, perseroan mencatatkan laba 1,02 juta dollar AS.

Kerugian yang terjadi pada kuartal I 2017 disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya kenaikan harga bahan bakar avtur. Dalam paparan kinerjanya, Garuda menyebutkan bahwa dalam setahun terakhir biaya bahan bakar perseroan naik 54 persen dari 189,8 juta dollar AS di kuartal I 2016 menjadi 292,3 juta dollar AS di kuartal I 2017.

Kenaikan biaya bahan bakar tersebut membuat total biaya operasional meningkat 21,3 persen dari 840,1 juta dollar AS di kuartal I 2016 menjadi 1,01 miliar dollar AS di kuartal I 2017.

Penerimaan pendapatan yang naik 6,2 persen dari 856 juta dollar AS di kuartal I 2016 menjadi 909,5 juta dollar AS di kuartal I 2017, tidak mampu mengkompensasi tingginya biaya bahan bakar.

Kemudian, perseroan juga menangguk rugi karena sedikitnya jumlah penumpang yang diangkut. Hal ini sejalan dengan siklus tahunan yakni sepinya penumpang pada setiap kuartal I.

Ada beberapa rute penerbangan baik domestik maupun mancanegara mengalami kerugian akibat sedikitnya jumlah penumpang. Karena itu, setidaknya ada 10-20 rute yang tengah dikaji oleh Garuda mengenai keberlanjutannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com