Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melepaskan Koperasi dari "SMEST Syndrome"

Kompas.com - 20/06/2017, 12:46 WIB
Firdaus Putra, HC

Penulis

Sebagai sebuah perusahaan koperasi mengikuti tahap perkembangan tertentu. Mulai dari mikro yang idealnya terpenuhi maksimal 3 tahun, kecil maksimal 5-7 tahun, dan tahap menengah 3-5 tahun.

Bila bersetia dengan perkembangan itu, koperasi akan capai skala besar dan titik efisiensi optimalnya pada rentang 15-20 tahun. Faktanya, di lapangan banyak koperasi yang tak kunjung naik kelas, sudah 10 tahun namun skalanya tetap kecil.
 
Orbit koperasi

Ada dua orbit koperasi, saya sebut "Orbit Tetap Kelas" dan "Orbit Naik Kelas". Koperasi "Tetap Kelas" biasanya mempunyai orbit yang dimulai dari anggota berjumlah terbatas karena sedikit layanan menjadi tak efisien. Mereka biasanya bermain di pasaran tertutup, alhasil omzet (turn over) tak akan pernah naik secara signifikan. Analoginya seperti memancing di kolam ikan. Pasti mendapatkan ikan, tetapi jumlah maksimalnya sebanyak ikan di kolam itu.
 
Omzet yang cenderung ajek membuat mental kewirakoperasian mereka tak berkembang. Jadilah pengurus mengendalikan koperasi secara sambil lalu atau sambilan.  Pengurus itu bisa jadi tak menerima honor bulanan, namun tahunan.

Bila koperasi macam ini punya karyawan, mereka pasti digaji rendah. Hasilnya dapat dipastikan, layanan buruk yang membuat anggota tak puas. Ujungnya, anggota tetap saja, bahkan bisa menyusut karena mengundurkan diri.
 
Di sisi lain, koperasi yang "Naik Kelas" memiliki orbit anggota terbuka dan bisa terus bertambah. Layanan menjadi lebih efisien karena mencapai economies scale-nya. Hasilnya omzet tinggi dan pengurus mengendalikannya secara profesional. Para manajer dan karyawan digaji bagus yang membuat kualitas kerja juga naik.
 
Alhasil, layanan menjadi prima. Efeknya anggota merasa puas dan kembali menggunakan layanan koperasi. Anggota dengan sendirinya menjadi pemasar koperasi dan rekomendasikan koperasi ke orang lain. Ujungnya, anggota koperasi bertambah dan bertambah lagi. Siklus orbital itu berjalan terus-menerus sebagai rangkaian aksi-reaksi yang melingkar.
 
Memutus orbit "Tetap Kelas"

Sebagian praktisi dan peneliti menyinyalir "Koperasi Tetap Kelas" terbentuk karena rendahnya pasokan SDM bermutu. Solusinya dengan berbagai program pendidikan dan pelatihan (diklat) mulai kecakapan dasar sampai tingkat lanjut.

Namun, bukankah "Koperasi Tetap Kelas" itu juga sudah berkali-kali mengikuti berbagai diklat yang diadakan Dinas Koperasi? Skenario itu belum juga bisa memberi solusi.
 
Skenario lain dicoba. Pengurus mengundang para manajer untuk mengelola koperasi secara profesional. Yang jadi masalah, untuk bisa menghadirkan manajer profesional, koperasi harus bisa membayar mereka dengan standar tinggi. Sayangnya, koperasi tak cukup punya amunisi. Lagi-lagi, belum memutus lingkaran setan.
 
Sebenarnya, masalah mendasar "Koperasi Tetap Kelas" terletak pada economies scale yang tidak tercukupi. Efek dominonya panjang, antara lain sumber daya terbatas, manajemen yang tidak efektif, budaya perusahaan yang tak terbentuk, sistem kerja yang tak memadai, dan daya kepemimpinan yang rendah. Maka, upaya untuk memutus orbit "Koperasi Tetap Kelas" adalah dengan menaikkan skalanya, yakni melalui restrukturisasi perusahaan.
 
Merger antarkoperasi

Perusahaan non-koperasi sangat fasih menggunakan strategi restrukturisasi, yang paling sering dipakai adalah merger dan akuisisi.

Data bisa menggambar dengan baik merger perusahaan sebagai strategi favorit mereka. Dalam rentang 2013-2017, ada 290 perusahaan melakukan merger (KPPU, 2017). Rata-rata ada sekitar 58 perusahaan per tahun yang meleburkan diri.
 
Apa yang ingin mereka kejar? Biasanya untuk mengonsolidasi pasar. Ada juga dalam rangka mengembangkan dan meluaskan usahanya. Efeknya, mereka akan memperoleh angka efisiensi yang optimal berbanding dengan ukuran perusahaan (McKinsey, 2013).

Perusahaan yang melakukan merger dengan sendirinya memperoleh daya ungkit hasil implan sistem perusahaan induk. Tentu saja itu memangkas berbagai biaya investasi yang harusnya dikeluarkan bila tanpa merger.
 
Meski koperasi secara legal memiliki fasilitas yang sama, seperti diatur UU No. 25 Tahun 1992 dan Permenkop No. 10 Tahun 2015, namun sedikit koperasi yang menggunakan opsi itu. Sebagai perusahaan, merger antarkoperasi bisa menjadi solusi sebagaimana perusahaan non-koperasi melakukannya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com