Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Lagi Urusan Perut dan "Bawah Perut" Jadi Ganjalan Mudik Gratis

Kompas.com - 24/06/2017, 14:43 WIB
Josephus Primus

Penulis


KOMPAS.com - Bambang Miko cuma tersenyum saat menjawab pertanyaan soal mudik gratis menjelang Lebaran tahun ini. "Saya enggak ikut mudik gratis tahun ini," tutur pria asal Blitar, Jawa Timur ini.

Setahun silam, jurnalis di sebuah media dalam jaringan (online) itu ikut program mudik bareng sebuah bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bambang beserta anak dan istri berangkat dari halaman Parkir Timur Senayan Jakarta sekitar pukul 12.00 WIB. "Bus ada AC tapi kursinya dua-tiga," tuturnya.

Meski terbilang luks, bus untuk mudik gratis itu ternyata tak dilengkapi dengan toilet. Sementara, perjalanan menuju kampung halaman mesti dilewati dalam hitungan lebih dari sepuluh jam.

Bus nir-toilet itu pun bak malapetaka lantaran penumpang mesti menanti waktu bus masuk ke pompa bensin atau rest area demi membuang hajat kecil. "Kan enggak mungkin saya minta sopir berhenti supaya saya bisa kencing," begitu keluh Bambang mengisahkan ihwal kebutuhan "bawah perut"-nya.

Soal mudik gratis, lain lagi pengalaman Rohmin saat mengikuti mudik gratis dari sebuah perusahaan jamu asal Semarang, Jawa Tengah. Sudah beberapa kali ia ikut program itu untuk pulang kampung ke Pekalongan. Kebetulan, salah satu daerah tujuan pada program mudik tahunan itu adalah Pekalongan.

Rohmin yang tinggal di Bekasi mesti berangkat ke kawasan Pekan Raya Jakarta selepas sahur. Maklumlah, panitia meminta agar peserta mudik gratis bagi pedagang jamu itu tiba di lokasi pemberangkatan paling lambat pukul 06.00. "Berangkatnya sih sekitar jam 10.00,"  tutur Rohmin.

Tidak seperti Bambang Miko yang menggunakan bus ber-AC, Rohmin beserta rombongan menggunakan bus tanpa pendingin udara. Istilah lazimnya, bus non-AC. Berkonfigurasi tempat duduk dua-tiga, bus semacam itu biasanya dilengkapi jendela besar dan tak memiliki toilet.

Bisa dibayangkan, perjalanan siang hari menuju kota tujuan dengan bus non-AC selalu karib dengan hawa panas di dalam ruangan. Sudah begitu, ketiadan toilet memaksa penumpang untuk menahan saat ingin buang air kecil. Sama halnya yang dilakukan oleh Bambang Miko.

Perjalanan mudik gratis juga masih sarat problem tatkala perjalanan siang hari berhenti di rumah makan di kawasan Pantai Utara Jawa Barat.

Seperti pengalaman yang sempat Kompas.com alami di sebuah rumah makan di Patok Beusi, Kabupaten Subang. Karena tak ada koordinasi dengan penyelenggara, pengelola rumah makan belum rampung memasak makanan. Alhasil, lebih banyak penumpang dari sekitar sepuluh bus yang berhenti di situ tak terlayani dengan baik. Persoalan perut pun mengemuka di sini.

Tak cuma itu, kamar kecil di rumah makan itu cuma empat yang berfungsi. Tak terbayangkan antrean manusia yang ingin buang air di situ, paling banyak perempuan.

Sementara, kaum lelaki memilih buang air kecil di semak-semak dekat rumah makan. Ada juga yang akhirnya memilih lokasi di belakang bus untuk buang air kecil. Sebuah pemandangan tak sedap memang.

Andalan

Apa pun alasannya, mudik gratis masih menjadi andalan warga ibu kota berpenghasilan pas-pasan untuk kembali ke kampung halaman, bersilaturahim dengan anggota keluarga besar. Hampir bisa dikatakan, para warga itu tak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk membiayai perjalanan pulang.

Sementara, bagi penyelenggara mudik gratis, pada awalnya, kegiatan ini sebagai bagian dari promosi penjualan merek. Selain itu, mudik gratis juga menjadi bentuk kepedulian perusahaan terhadap karyawannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com