KOMPAS.com -
Pemerintah akhirnya meresmikan Bandara Internasional Kualanamu, Kamis (25/7/2013). Bandara yang pembangunannya memakan waktu enam tahun itu akhirnya bisa menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Dengan posisi berhadapan langsung dengan Bandara Changi di Singapura, Bandara Kuala Lumpur di Malaysia, dan Bandara Svarnabhumi di Thailand yang spektakuler, tentu membuat bandara Indonesia tidak tertinggal.

Kualanamu adalah bandara yang modern. Bandara ini mempunyai layanan transportasi antarmoda, sistem layanan bagasi yang otomatis, dan berwawasan lingkungan. Pemakaian dinding kaca yang masif dan sirkulasi udara yang baik membuat bandara ini hemat listrik. Pemandangannya juga indah dan menyegarkan mata.

Yang membuat Kualanamu menjadi bandara paling modern adalah layanan antarmoda, yakni layanan kereta bandara. Bahkan, bandara terbesar di Indonesia, yakni Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, hingga kini belum memiliki layanan kereta.

Akan tetapi, dari kebanggaan itu, ada persoalan yang agak mengganggu. Kereta bandara seharusnya dilayani oleh kereta buatan Korea yang saat ini belum rampung. Dari perhitungan bersama dengan Kementerian Perhubungan, layanan kereta bandara ini memungut tarif Rp 80.000 per penumpang.

Tarif ini sudah mengakomodasi seluruh komponen biaya PT Railink, perusahaan swasta patungan antara PT KAI dan PT Angkasa Pura II sebagai pengelola. Namun, tarif Rp 80.000 per penumpang dirasakan tidak adil saat ini. Sebab, kereta yang digunakan PT Railink saat ini adalah kereta bantuan dari Kementerian Perhubungan.

PT Railink tidak menanggung biaya penyusutan dan bunga atas kereta buatan PT INKA ini. Namun, PT Railink tetap mengenakan biaya Rp 80.000. Bahkan, Menteri Perhubungan EE Mangindaan, ketika ditanya wartawan mengenai tarif kereta api, mengatakan, tarif awal kereta bandara adalah Rp 50.000. Jika sudah menggunakan kereta dari Korea, baru boleh Rp 80.000.

Jika layanan kereta mengangkut 20 persen dari 20.000 penumpang pesawat di Kualanamu, berarti ada 4.000 penumpang diangkut kereta. Jika saat ini satu penumpang kelebihan bayar Rp 30.000, PT Railink menikmati kelebihan bayar Rp 120 juta per hari. Tinggal dihitung saja berapa yang akan dikumpulkan PT Railink saat kereta Korea tiba pada bulan September atau Oktober mendatang.

Persoalan tarif lainnya yang mengkhawatirkan masyarakat adalah harga passenger service charge (PSC) atau disebut pajak bandara (airport tax). Saat ini PT Angkasa Pura II masih mengenakan PSC sebesar Rp 35.000 sama dengan tarif di Bandara Polonia. Namun, dengan fasilitas yang ada, AP II menghitung PSC yang cocok untuk Kualanamu adalah Rp 100.000.

Direktur Utama AP II Tri S Sunoko mengatakan, seharusnya PSC yang pas untuk Kualanamu adalah Rp 122.000. Namun, karena masih memperhitungkan daya beli masyarakat, AP II mengusulkan PSC sebesar Rp 100.000 kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bakti S Gumay mengatakan, tarif yang pas berkisar Rp 70.000-Rp 80.000.

Sebenarnya PSC bisa dimasukkan dalam harga tiket seperti yang dilakukan Garuda Indonesia saat ini. Dengan demikian, masyarakat tidak terlalu merasa harus membayar berkali-kali. Namun, harus ada komitmen dari maskapai penerbangan untuk membayarkan apa yang menjadi hak operator bandara. Sebelumnya banyak penerbangan tidak membayarkan airport tax kepada pengelola bandara.

Bagi operator, tetap harus terus meningkatkan kualitas layanan di bandara. Sebab, bagaimanapun bandara adalah pintu gerbang negara tercinta ini. (M Clara Wresti)