Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Dorong Kartel Pangan

Kompas.com - 21/10/2013, 07:47 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan pemerintah terhadap ketahanan pangan telah melahirkan kartel yang tidak terkendali pada sejumlah komoditas pangan. Pemerintah diminta mengembalikan peran Bulog untuk mengatur tata niaga perdagangan.

Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema ”Tinjauan Historis dan Perilaku Kartel Pangan Strategis di Indonesia”, Sabtu (19/10/2013), di Jakarta. Hadir sebagai pembicara, yakni Direktur Centre for Agricultural Policy Studies Tito Pranolo, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, peneliti Indonesia for Global Justice Salamuddin Daeng, dan Sekretaris Jenderal Agribisnis Club Tony J Kristianto.

”Pemerintah cenderung berpikir pendek, yaitu mengandalkan impor pada saat terjadi kelangkaan dan naiknya harga komoditas pangan. Saat itulah kartel pangan oleh segelintir importir terjadi,” kata Tony J Kristanto.

Menurut dia, kebijakan memberikan subsidi di sisi hulu bukan kebijakan yang sehat. ”Bantuan langsung benih unggul justru merusak petani. Diberi gratis, tetapi mutunya jelek. Dahulu petani bisa membuat perhitungan dengan membeli benih terbaik untuk produktivitas tinggi,” ujar Tony.

Tony mengatakan, petani selayaknya juga mendapat subsidi di sisi hilir, yaitu pada pengolahan pascapanen dan stabilisasi harga dengan mengembalikan peran Bulog. ”Misalnya, perlu disediakan gudang gratis, cool storage, dan penerapan teknologi penyimpanan benih yang baik. Jika petani dapat meningkatkan produktivitasnya, mereka dapat bersaing dengan produk impor,” ujarnya.

Terapkan GBHN

Enny mengatakan, penelitian Indef dalam menelusuri rantai distribusi mulai dari petani hingga konsumen menemukan adanya kartel dalam tata niaga perdagangan. ”Kebijakan liberalisasi perdagangan menumbuhsuburkan praktik kartel. Ketika mengecek daftar importir dari alamat dan nomor teleponnya, ternyata ada banyak tempat fiktif dan nomor telepon yang sama,” ujarnya.

Menurut Tito, kebijakan pemerintah selama ini tidak berpihak pada kepentingan bangsa dan ketahanan pangan nasional. ”Praktik kartel yang terjadi umumnya melalui agen-agen dan tidak melakukan penetrasi secara langsung,” ujarnya.

Salamuddin memaparkan, kebijakan pemerintah terhadap ketahanan pangan cenderung parsial dan tidak utuh. ”Pangan tidak terlepas dari sistem distribusi, kebijakan keuangan, dan kelengkapan infrastruktur. Karena itu, dibutuhkan Garis Besar Haluan negara (GBHN) sebagai pedoman pelaksanaan pemerintahan, termasuk pengelolaan ketahanan pangan,” kata Salamuddin.

Menurut dia, dengan GBHN sebagai rencana strategis pembangunan jangka panjang melalui ketetapan MPR, presiden berstatus sebagai mandataris MPR yang berkewajiban menjalankan GBHN dan dapat segera diminta pertanggungjawabannya ketika terjadi krisis pangan. ”Kita butuh GBHN lagi karena dulu 30 persen sampai 40 persen GBHN berisi tentang ketahanan pangan,” kata Salamuddin.

Dihubungi secara terpisah, Menteri Pertanian Suswono mengatakan, pelaksanaan subsidi benih dan pupuk belum terlaksana secara maksimal. ”Di lapangan, untuk pengadaan benih melalui sistem lelang, misalnya, ada perusahaan yang menang lelang, tetapi saat merealisasikan justru bermitra dengan penakar benih yang kurang baik. Kementerian pun sama-sama dirugikan,” ujarnya. (k09/MAS)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com