Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembayaran Denda Pajak Asian Agri Dipertanyakan

Kompas.com - 02/02/2014, 08:08 WIB

KOMPAS.com -
Sanksi pidana berupa pembayaran denda Grup Asian Agri sangat fantastis: Rp 2,5 triliun. Atas dasar kesepakatan, Kejaksaan Agung menerima komitmen pelunasan denda AAG dengan skema tahap pertama Rp 719,95 miliar dan sisanya dicicil Rp 200 miliar per bulan, berakhir Oktober 2014.

Mekanisme ini menyisakan sejumlah pertanyaan. Mengapa tidak dibayar tunai? Kalau hanya sanggup mencicil, mengapa tidak sejak ada kejelasan putusan Mahkamah Agung?

Jaksa Agung Basrief Arief dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (30/1), menyebut, mekanisme pembayaran eksekusi denda ini sebagai kerja sama yang baik antara Kejagung dan AAG, dan khususnya antara Kejagung dan Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian BUMN, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Kepada wartawan yang diapresiasi karena mengawal kasus ini, Basrief mengatakan, ”Silakan dilihat apakah ini suatu prestasi atau tidak. Tetapi, yang pasti untuk kepentingan negara, kami sudah melaksanakan tugas kami sebaik-baiknya.”

Pelaksanaan eksekusi denda ini didasarkan putusan kasasi MA No 2239.K/Pid.Sus/2012 tanggal 18 Desember 2012 atas nama terpidana Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak. Batas pembayaran selama satu tahun yang harus dibayarkan oleh 14 perusahaan atau sebelum 1 Februari 2014. Seluruh perusahaan ini tergabung dalam AAG.

Basrief menyatakan, waktu yang diberikan pengadilan sesungguhnya cukup panjang. Namun, Kejagung tidak ingin gegabah mengeksekusi karena menyangkut 14 perusahaan yang menaungi 25.000 karyawan dan 29.000 petani plasma. Kejagung tidak hanya memperhatikan masalah kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga pemanfaatan. Perusahaan jangan terganggu dan negara pun bisa mendapatkan dendanya.

Basrief menjelaskan, setelah 9 Januari 2014, pihak AAG menemuinya dan menyatakan sanggup membayar denda.

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menilai, mekanisme mencicil denda hanyalah alasan yang dicari-cari. ”Mekanisme mencicil denda bakal menjadi preseden buruk. Bahkan, preseden buruk dalam penegakan hukum di bidang pidana pajak. Apalagi, hanya diberikan komitmen berupa 126 bilyet giro sebagai jaminan besarnya cicilan. Negosiasi ini akan ditiru pengemplang pajak.”

Soal bunga
Pemerhati hukum Abdul Fickar Hadjar dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti mengatakan, eksekusi denda atau tunggakan pajak bersifat hukum administratif yang mengarah pada kecenderungan hukum perdata. Kesepakatan menjadi hukum tertinggi (pacta sunt servanda). Jadi, sah saja dilaksanakan secara perdata dengan segala konsekuensinya, termasuk bunga jika dibayar mencicil.

”Karena menggunakan konstruksi perdata, sesungguhnya ada keuntungan negara yang hilang jika tidak ada perhitungan pembayaran bunganya. Walau jumlah kerugian negara sudah ditetapkan sebagaimana putusan pengadilan, tetap saja bunganya menjadi milik negara dan harus masuk kas negara. Tidak boleh sepeser pun jadi milik orang perorangan pribadi di kejaksaan,” tegas Abdul Fickar.

Dalam hitungan bisnis, ada pula pertanyaan tersisa, yakni mengapa nilai uang yang bisa dikembangkan dalam bentuk bunga tidak jadi pertimbangan Kejagung? Sederhana saja, uang yang disetorkan ke kas negara toh dalam proses penganggaran negara bisa diputar kembali oleh negara jadi program pemberdayaan usaha kecil dan menengah melalui koperasi atau penjamin kredit usaha rakyat. Lihatlah, besaran bunga dari Rp 1,8 triliun yang janjinya dicicil AAG. Tentulah sangat besar! (Stefanus Osa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com