Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/08/2014, 22:43 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah masih terus mencari cara terbaik untuk menyelamatkan PT Merpati Nusantara Airlines. Utang terakhir maskapai pelat merah itu kini mencapai hampir Rp 7 triliun.

Beberapa kali sebelum kondisi terakhir ini, pemerintah telah menyuntikan triliunan rupiah untuk Merpati. Toh, Merpati tetap terseok. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung kepada wartawan pekan lalu menuturkan, krisis Merpati bukan sekadar krisis keuangan.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan, Hadiyanto, membenarkan, yang dibutuhkan Merpati bukan hanya restrukturisasi utang, namun juga restrukturisasi operasional. “Restrukturisasi operasional harus meliputi juga perubahan manajemen, perubahan budaya kerja, komitmen dari semua stakeholder, harus ada program-program yang meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya,,” jelas Hadiyanto, ditemui usai halal bihalal di Kemenkeu, Jakarta, Senin (4/8/2014).

“Jangan dilihat ‘Merpati, oh, itu perusahaan BUMN, harus diselamatkan’. Tidak begitu konsepnya. Tapi harus dilihat bagaimana ini mendudukan korporasi Merpati ke dalam tatanan kelolaan yang baik. Harus dilihat secara utuh,” lanjutnya.

Opsi privatisasi

Dalam salah satu rencana restrukturisasi, utang Merpati kepada pemerintah akan dialihkan menjadi saham. Namun, menurut Hadiyanto, hal tersebut masih butuh proses panjang di internal Kemenkeu. Restrukturisasi, katanya, harus mencakup minimal tiga hal, yaitu yang resikonya paling sedikit buat negara, yang mampu menjaga keberlanjutan BUMN, serta yang didukung sinergi BUMN.

Hal itu menurut Hadiyanto mutlak dilakukan, lantaran merombak manajemen saja nyatanya tidak menghasilkan perbaikan. Namun, Hadiyanto membantah ketika ditanya soal privatisasi.

“Kami belum berdiskusi sejauh itu. Tapi faktanya adalah memang perusahan seperti Merpati ini dalam situasi yang super sulit, susah untuk bisa menjalankan kembali Merpati,” katanya.

Alasannya, pertama, persaingan maskapai sudah semakin keras, dengan adanya maskapai penerbangan murah atau LCC (low cost carrier). Dia menambahkan, bahkan semua rute perintis Merpati, sekarang sudah dimasuki perusahaan swasta yang LCC. “Jadi secara kompetisi Merpati harus benar-benar lebih efisien,” tuturnya.

Kedua, Hadiyanto mengatakan, situasi Merpati sulit lantaran manajemen pengelolaan pesawatnya tidak baik. Idelanya, mayoritas pesawat yang ada harus seragam. Tidak banyak jenis, seperi jet, propeller (baling-baling), dan lain-lain. “Ini menyebabkan maintenance mahal,” katanya.

Alasan ketiga situasi Merpati sulit adalah sumber daya manusianya yang berlebihan. Hadiyanto mengatakan, Merpati harus realistis dengan pesawat yang tinggal 5-6 unit, apakah perlu karyawan sebanyak itu.

Terakhir, manajemen Merpati harus belajar dari pengalaman. “Yaitu kurang disiplin dalam menjalankan roda perusahaan. Sehingga, akibatnya ya itu, minjam terus avtur, tidak bisa bayar, SLF (seat load factor) rendah. Jadi, tidak bisa catch up dengan biaya operasi dan kewajiban utang,” tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com