Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi 2015 dan Krisis 1997

Kompas.com - 02/09/2015, 15:01 WIB

Oleh Anwar Nasution

KOMPAS.com - Beberapa indikator, seperti nilai tukar rupiah yang terus melemah, meningkatnya suku bunga bank, menurunnya ekspor dan tingkat harga ekspor kita di pasar dunia, juga kegagalan panen di sentra produksi padi, sebenarnya sudah memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia tengah menghadapi kesulitan.

baca juga: Ini Perbandingan Indikator Ekonomi Tahun 2015 dengan Saat Krisis 1998

Namun, seperti pemerintahan Soeharto pada 1997, pemerintahan Jokowi juga mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Padahal, ekonomi sudah menunjukkan adanya empat bentuk gejolak eksternal yang mengancam. Namun, tidak ada kebijakan ataupun upaya pemerintah untuk mengatasinya. Pemerintah justru menghabiskan energi dan waktunya untuk cekcok sendiri.

Gejolak eksternal pertama berkaitan dengan berakhirnya boom komoditas primer mulai akhir tahun 2011. Sejak itu, baik permintaan maupun tingkat harga internasional hasil tambang, pertanian, dan perikanan terus merosot hingga saat ini.

Gejolak eksternal kedua berkaitan dengan kemungkinan peningkatan tingkat suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve System. Berita akan adanya kenaikan tingkat suku bunga menyedot aliran modal, dari negara-negara membangun, kembali ke AS. Pada gilirannya, aliran balik dana ini telah meningkatkan suku bunga pinjaman pemerintah, dunia usaha, dan mengempaskan harga SBI, SUN, dan efek-efek yang diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta.

Gejolak eksternal ketiga adalah musim kering berkepanjangan yang menyebabkan gagal panen di sentra produksi beras.

Gejolak eksternal keempat adalah devaluasi mini renminbi (1,9 persen), mata uang Republik Rakyat Tiongkok. Koreksi kecil itu dipersepsikan masyarakat sebagai awal kembalinya perang mata uang. Padahal, bank sentral RRT berjanji menggunakan sistem devisa mengambang dan menyerahkan nilai tukar kepada pasar.

Alasan pertama pemerintah mengapa fundamental ekonomi kuat adalah karena indikator ekonomi makro masih baik hingga tahun 2014. Selalu disebut bahwa ekonomi Indonesia masih tumbuh 5 persen pada 2014 dengan tingkat laju inflasi 6,4 persen. Pada tahun itu, defisit APBN hanya 2,2 persen, di bawah maksimum 3 persen, sedangkan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah 30, jauh dari batas maksimum 60 persen. Defisit neraca berjalan hanya 3 persen dari PDB, jauh dari batas mencemaskan 8 persen.

Alasan kedua adalah perbankan sangat sehat dengan CAR tinggi dan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) rendah. Tidak dijelaskan CAR dan NPL itu diukur pada berapa tingkat harga komoditas primer, suku bunga, nilai tukar rupiah, ataupun pertumbuhan ekonomi.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com