Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/09/2015, 13:12 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menghitung bahwa hingga kini pemutusan hubungan kerja (PHK) hampir 100.000 pekerja. KSPI membagi jumlah angka PHK menjadi tiga kategori, yaitu PHK dari perusahaan yang tutup, perusahaan yang sedang efisiensi, dan angka potensi PHK.

Lantaran perusahaan tutup, sudah jelas mereka memutus hubungan kerja dengan karyawannya. "Pemerintah mengumumkan, jumlah kategori ini 26.506 orang," ujar Said Iqbal, Presiden KSPI, kepada Kontan baru-baru ini.

Kategori selanjutnya, perusahaan yang sedang efisiensi. Di kategori ini, perusahaan memang belum tutup. Namun, sudah mengurangi jumlah karyawan. Biasanya, di kategori ini, perusahaan tak melapor ke pemerintah alias dinas tenaga kerja. Mereka cukup bernegoisasi dengan karyawan atau serikat pekerja. "Ini terjadi di industri komponen otomotif dan elektronik," kata Said.

Terakhir, potensi PHK. KSPI memasukkan kategori potensi ini lantaran sebelum hari raya Idul Fitri yang lalu sudah ada beberapa karyawan yang dirumahkan. Atau, terjadi pengurangan jam kerja dari lima hari per minggu menjadi tiga hari per minggu. Nah, di kategori ini, belakangan sudah banyak yang mulai dipanggil perusahaan terkena PHK.

Penyebab PHK

Apa sebab PHK makin hari terus bertambah? Menurut Said, setidaknya ada lima penyebab mengapa PHK terus bertambah.

Pertama, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS ambruk. "Melemah sangat tajam," ujarnya.

Kedua, daya beli masyarakat, termasuk buruh, menurun akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Ketiga, pertumbuhan ekonomi global melambat sehingga produk-produk ekspor yang diproduksi di Indonesia tidak juga laku seperti tahun-tahun sebelumnya.

Keempat, ekonomi Indonesia melambat. "Selain BBM, kan, ada persoalan ekonomi melambat," ujar Said.

Kelima, beban biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha jadi berat disebabkan oleh beberapa kebijakan pemerintah yang justru menghambat. Kondisi tersebut, kata Said, masih diperparah oleh beban biaya listrik, biaya logistik, juga pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang mahal.

Bukan main-main

KSPI menilai pemerintah harus segera mengendalikan nilai tukar mata uang rupiah jika tak ingin jumlah PHK makin parah. Sepanjang pemerintah belum bisa mengendalikan nilai tukar rupiah yang terus melemah, ancaman PHK itu sungguh-sungguh. "Bukan main-main!" tegas Said.

Sebab, situasi saat ini banyak pengusaha yang sudah terpukul akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Pasalnya, banyak bahan baku produksi industri di Indonesia masih impor dengan menggunakan dollar AS. Sementara penjualan hasil produksi memakai nilai rupiah.

Sementara paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan pemerintah juga belum terasa sampai sekarang. "Saya usulkan secara terbuka agar pemerintah membuat kebijakan yang langsung terasa, misalnya menurunkan tarif dasar listrik dan turunkan harga logistik. Biaya logistik itu hampir 30 persen dari total biaya produksi. Kalau listrik dan biaya logistik bisa turun, biaya produksi bisa turun. Dengan demikian, mereka lebih kompetitif. Kalau kompetitif, mereka tidak akan PHK karyawan," kata Said.

Di samping itu, pemerintah juga harus segera mengembalikan daya beli masyarakat. Salah satu opsinya yaitu menggunakan bantuan langsung tunai.

Sampai sekarang, jumlah PHK terbanyak masih di sektor padat karya, seperti makanan, minuman, atau tekstil.

"Kemudian elektronik. Dua pabrik Panasonic Pasuruan dan Bekasi yang memproduksi lampu sudah mengurangi karyawannya besar-besaran. Hampir 1.000-an. Tidak tutup, tapi sudah mengurangi karyawannya 80 persen," kata Said. (Silvana Maya Pratiwi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com