Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Garam Tak Cuma Bikin Asin Makanan…

Kompas.com - 29/09/2016, 12:57 WIB
Sri Noviyanti

Penulis


KOMPAS.com
– Ada pepatah bilang, asam di gunung dan garam di laut bertemu di belanga. Memakai analogi yang erat dengan makanan, ujaran itu menyemangati bahwa tak ada perbedaan yang mustahil disatukan, bahwa jodoh akan bertemu sebeda apa pun latar belakangnya.

Namun, satu hal yang tak sempat terwakili ungkapan tersebut adalah fakta bahwa garam tak cuma punya fungsi memberi rasa asin pada makanan.

Saat kebakaran hutan melanda sebagian wilayah Indonesia, misalnya, salah satu cara untuk “memanggil” hujan datang adalah dengan menabur garam.

Satu lagi, banyak industri berat yang ternyata butuh kehadiran garam dalam proses produksinya. Membuat kaca kualitas tinggi, adalah salah satunya, selain industri makanan dan minuman.

Sebagai negara di daerah tropis dan salah satu pemilik garis pantai terpanjang di dunia, lndonesia seharusnya bisa menghasilkan garam berlimpah.

“Masa, lautnya terpanjang nomor dua di dunia, kita garamnya 80 persen impor. Kan sedih, malu," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, seperti dikutip Kompas.com, Minggu (12/6/2016).

(Baca: Menteri Susi Malu, 80 Persen Garam di Indonesia Berasal dari Impor)

Namun, ada faktor lain yang juga harus dihitung, yaitu fenomena iklim dan perubahan cuaca. Pada 2013, misalnya, produksi garam nasional harus anjlok karena anomali cuaca berupa kemarau basah.

KOMPAS/HERPIN DEWANTO PUTRO Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meninjau sebuah tambak garam di Desa Majungan, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, Jawa Timur, Jumat (11/9/2015). Dalam acara Festival Garam Nasional itu, Susi juga berdialog dengan para petani garam dari beberapa daerah dan membahas mengenai upaya meningkatkan harga garam rakyat.

Seperti ditulis harian Kompas pada Selasa (7/1/2014), produksi garam nasional pada November 2013 hanya mencapai 577.917 ton dari target 700.000 ton. Angka target itu pun sebelumnya sudah direvisi dari semula 1,845 juta ton.

Merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan, kebutuhan garam nasional pada 2014—baik untuk konsumsi maupun industri—mencapai 3,9 juta ton. Adapun produksi nasional disebut 2,2 juta ton.

Selain kepastian produksi, pemanfaatan garam terutama di sektor industri butuh pula kepastian kualitas. Perbedaan antara garam konsumsi dan garam industri adalah kandungan natrium klorida (NaCl) di dalamnya.

Mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-Dag/PER/12/2015 tentang Impor Garam, garam konsumsi mengharuskan kadar NaCl minimal 94,7 persen, sementara garam sebagai bahan penolong industri butuh kadar NaCl minimal 97 persen.

Pemerintah telah menggaungkan target swasembada garam konsumsi pada 2012. Berikutnya, Pemerintah pun ingin swasembada berlanjut untuk garam industri.

Optimisme Pemerintah terutama berlatar dari data sebaran produksi yang pada 2013 mencapai luas 21.348 hektar di sembilan kabupaten kota sentra usaha garam. Disebut juga ada 7.981 hektar lahan produksi di 33 kabupaten kota penyangga usaha garam.

(Baca juga: Faisal Basri: Importir Jangan Dibebani Kewajiban Serap Garam Rakyat)

Tantangannya, kualitas garam industri juga mensyaratkan kekeringan tertentu. Iklim di Indonesia menjadi tantangan lain, karena negara ini cenderung punya kelembaban tinggi.

Solusi pun disodorkan Pemerintah berupa penerapan teknologi ulir filter (TUF) dan geomembran pada 20 sentra produksi garam dan daerah penyangga program pemberdayaan usaha garam rakyat.

KOMPAS.com / ABDUL HAQ Seorang petani garam di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan tengah memanen garammnya yang melimpah ruah sebagai imbas dari kemarau panjang yang melanda. Selasa, (25/08/2015).

Diyakini, teknologi ini akan mendongkrak produksi garam dari rata-rata 60-80 ton per hektar menjadi 200 ton per hektar. TUF pun diperkirakan bisa menaikkan kadar NaCl menjadi 97 persen, sesuai standar produksi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com