Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kementerian BUMN Belajar dari Kegagalan "Holding" Migas di Dallas

Kompas.com - 21/12/2016, 13:21 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Pembentukan induk perusahaan (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor minyak dan gas bumi (migas) menjadi salah satu isu yang menarik perhatian publik lebih dari sektor lain.

“Padahal kalau dilihat hanya dua perusahaan, Pertamina dan PGN. Holding sektor lain lebih banyak (perusahaannya). Tetapi kenapa migas yang hanya dua perusahaan lebih heboh?” kata Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kemeterian BUMN Edwin Hidayat Abdullah, Rabu (21/12/2016).

Sementara itu, menurut Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Aloysius Kiik Ro, salah satu alasan perlunya dibangun holding migas adalah untuk meningkatkan efisiensi.

Mata rantai industri migas kata Aloysius saat ini masih terputus-putus, dan pada akhirnya membuat harga energi tidak kompetitif.

Pembentukan holding migas, sebagaimana rencana untuk sektor lain, dimaksudkan untuk menciptakan perusahaan negara yang besar, kuat dan lincah. Namun demikian, Aloysius menyadari, holding ini bukanlah solusi final.

“Kalau transformasinya tidak berjalan, holding hanya akan menciptakan layer baru birokrasi,” ucap Aloysius.

Dalam kesempatan sama, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Ari Kuncoro mengatakan holding bukan hanya urusan memangkas birokrasi. Melainkan, mendistribusikan kewenangan kepada unit usahanya agar bisnis migas lebih fleksibel.

Dia mengilustrasikan bagaimana sebuah holding migas yang berdiri di Dallas, Texas, Amerika Serikat yaitu Energy Future Holdings Corporation gagal karena proses bisnisnya tidak fleksibel.

Energy Future Holdings Corporation yang berdiri 1912 itu, awalnya mengusung konsep pembagian tugas yang jelas, yakni pembangkitan, distribusi, dan eceran. Dua produk utamanya adalah listrik dan gas.

Seiring berjalannya waktu, Energy Future Holdings Corporation tidak hanya mengembangkan usahanya di Amerika Serikat, tetapi sampai Inggris dan Australia.

Masalah mulai muncul ketika harga gas turun. Ketika harga gas turun, holding terlambat melakukan renegosiasi harga dengan suplier. Di sisi lain, kompetitornya sudah lebih cepat mengambil keputusan renegosiasi kontrak dengan suplier.

“Istilahnya kaisar di istana, pencuri di desa, tidak bisa dihalangi. Kaisarnya di Dallas, kepala desanya di Inggris. Sedemikian panjang birokrasinya sehingga keputusan untuk renegosiasi itu menjadi tantangan,” kata Ari.

Jelas sekali kata dia, masalah di Energy Future Holdings Corporation adalah rantai birokrasi yang terlalu panjang. Seharusnya, Energy Future Holdings Corporation mendesentralisasikan kewenangan kepada kepada unit.

“Sehingga apa? Perusahaan yang di Inggris punya fleksibilitas dan otoritas yang cukup tinggi untuk menghadapi pesaing-pesaingnya,” kata Ari.

Dia juga menengarai, kegagalan Energy Future Holdings Corporation dikarenakan pemimpin di Dallas terlalu sibuk dengan perkembangan harga minyak di lingkungan pasarnya sendiri. Padahal dinamika di pasar lain, Inggris, juga terus bergerak dan membutuhkan respons cepat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com