Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/06/2013, 08:00 WIB

                                 oleh Rhenald Kasali (@rhenald_kasali)

KOMPAS.com - Tak dapat dipungkiri kehidupan manusia abad ini ditandai dengan seribu satu ketakutan (phobia). Kalau dulu hanya ada rasa takut terhadap ketinggian (acrophobia), air dingin (ablutophobia), atau kegelapan (achluophobia), maka dalam globalisasi kita bisa menyaksikan rasa takut terhadap dominasi asing yang dikenal dengan istilah xenophobia.

Pokoknya, abad ini apa saja bisa dijadikan objek ketakutan: rambut, garam, daging, kedelai, hewan peliharaan, perceraian, kehilangan ponsel, kemacetan lalu lintas, kurikulum baru, subsidi BBM, agama/kepercayaan yang dianut orang lain, gaya hidup, cara berpakaian, kehilangan jabatan, teknologi, bahkan juga sepatu dan kuku.

Dalam gerakan perubahan, belakangan ini juga dikenal istilah neophobia yang berarti takut terhadap pembaruan, perubahan atau transformasi. Dulu kelompok ini biasa disebut sebagai kelompok yang resistance to change. Tetapi belakangan di antara kelompok yang resistan itu ditemui penggerak-penggerak perlawanan yang dihantui rasa takut yang luar biasa. Takut kehilangan kenikmatan yang sudah dimiliki, tak siap menghadapi hal-hal baru, tak diterima, tak dinilai pintar, tak dianggap heroik, takut ditinggalkan, dan sebagainya.

Ketika dunia semakin terang, rasa takut itu bukannya menghilang. Dan ketika perubahan harus dihadapi bangsa ini, seribu satu persoalan akan dihadapi, beredar ibarat epidemik, karena virus neophobia yang menular cepat.

Persoalan perubahan menjadi sangat kompleks, sehingga tidak cukup bagi pemimpin sekedar melakukan perubahan. Ia membutuhkan program terapi, agen-agen perubahan yang ditangani dengan baik, arah yang jelas, dan hope management.

Penakut Tak Berani Sendirian

Apapun yang terjadi, orang-orang yang ketakutan punya kecenderungan "minta ditemani." Di abad social media, mereka bisa menutupi ketakutannya dengan tampil seakan-akan sangat berani dengan memimpin opini perlawanan.

Mereka mencolek tetangga-tetangganya agar ikut bertempur dalam gerombolan dan punya kecenderungan mengontrol, mengorganisir kekuatan dan berdebat dalam rasa sakit dan amarah yang dalam. Bahkan juga melibatkan berbagai institusi untuk mengobati rasa takutnya.

Selama tak sendirian, mereka merasa nyaman. Dan itu hanya terjadi kalau perlawanan berubah menjadi kekuatan yang besar. Kalau perlawanan berhenti, mereka akan semakin dilanda ketakutan dan mengajak teman-teman baru untuk sama-sama menikmati ketakutan.

Maka kata-kata saling menakuti akan diedarkan neophobias dalam komunitas itu seperti "jangan jadikan anak-anak kita kelinci percobaan", "rakyat besok akan mati", "perlawanan yang lebih besar akan datang" dan seribu ancaman lainnya yang mengerikan bagi orang lain.

Sebagian change leader beranggapan, kelompok ini pantas diabaikan karena jumlahnya tidak signifikan. Tetapi berbagai riset belakangan menemukan neophobia adalah "penyakit" yang membuat sebuah bangsa menjalani perubahan tidak dalam batin yang bahagia. Rasa takut dan cemas bisa menutup pintu rapat-rapat dan memutarbalikkan kemesraan berkomunitas.

Bahkan dalam skop makro bisa menimbulkan gerakan kekuatan rakyat (people's power) yang masif kalau rakyat mempercayainya. Bila melibatkan kalangan akademik, ia dapat melumpuhkan kesadaran ilmiah yang didasarkan prinsip keterbukaan dan fakta-fakta ilmiah. Bila ilmuwan sudah dilanda neophobia, maka masyarakatnya akan dilanda kebingungan dan bisa menguntungkan politisi yang memiliki conflict of interest.

Karena itu timbul kesadaran baru dalam Change Management bahwa neophobia adalah semacam "penyakit " perubahan, dan obatnya adalah memberikan terapi (self therapy). Masalahnya, mereka tdak hanya anti terhadap satu jenis perubahan, melainkan terhadap segala jenis pembaruan.

Sekalipun dilibatkan, mereka punya kecenderungan arogansi atau denying yang begitu kuat dalam untaian sinisme yang dinyatakan terbuka maupun terselubunb. Dalam beberapa hal, karakter kelompok ini mirip dengan kelompok losers (pecundang) yang pernah dibahas Denis Waitley dalam Psychology of Winning.

Jadi kalau perubahan ingin menghasilkan karya yang nyata, batin-batin yang terluka itu jelas harus diberikan ruang terapi yang memadai, atau berikanlah harapan yang dibuktikan dalam kemenangan-kemenangan jangka pendek yang siginifikan seperti yang dilakukan di Garuda Indonesia atau di beberapa organisasi yang kemajuannya jelas belakangan ini.

Kita tak bisa sekedar berubah untuk perubahan, tetapi perlu membangun budaya adaptif yang mengantarkan bangsa ini ke hadapan peradapan baru yang lebih batiniah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Whats New
SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Whats New
Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Whats New
[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Whats New
Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com