Menurut dia, tidak lazim lagi memberikan subsidi, sementara penerimaan dari sektor migas lebih kecil dari subsidi migas. "Pertama, industri migas kita tidak seperti dulu lagi. Kalau dulu, memberikan subsidi tidak masalah karena produksinya tinggi. Kini, penerimaan migas mungkin lebih kecil dari subsidi migas. Apa yang akan diberikan pada generasi mendatang kalau kita pakai semua?" ujarnya di Jakarta, Rabu (10/9/2014).
Menurut Kurtubi, pemerintah harus mengupayakan peningkatan produksi migas lewat dukungan ekplorasi cadangan baru. Selain itu, eksplorasi cadangan baru pun perlu didukung pula oleh peringanan pajak.
"Kita harapkan, pemerintah baru menyederhanakan sistem. Lex specialis, prinsip migas yang diperlakukan khusus. Bukan aturan pajak umum diberlakukan untuk migas. Sekarang pelaku usaha diberlakukan pajak aneh-aneh yang berlaku umum. Di migas tidak ada, karena risiko tinggi. Mustinya sebelum menemukan minyak, tidak ada pajak," ujar Kurtubi.
Langkah ini bukan langkah main-main. Menurut Kurtubi, dukungan pemerintah tersebut bisa mendorong eksplorasi potensi cadangan minyak Indonesia yang mencapai 80 miliar barel. Bandingkan dengan cadangan minyak Indonesia saat ini yang hanya sebanyak 3,7 miliar barel.
Sayangnya, mengeksplorasi butuh biaya besar dan berisiko. Menurut Kurtubi, dengan memberikan keringanan pajak, maka pemerintah mendukung eksplorasi cadangan minyak baru. "Jawaban BBM, bangun kilang. Bangun kilang itu mustahil rugi. Kok bisa enggan, Pertamina? Keuntungan kecil iya, dibanding hulu, tapi mustahil rugi," pungkas Kurtubi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.