Dalam beleid itu, ditjen pajak mewajibkan perbankan menyerahkan data bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito dan tabungan milik nasabahnya secara rinci. Misal, nasabah pemilik deposito 100 deposan, maka yang wajib dilaporkan harus 100 deposan. Selama ini, perbankan memberikan data bukti potong PPh deposito dan tabungan tidak menyertakan bukti potong setiap nasabah.
Nah, dengan formulir yang lebih rinci, petugas pajak bisa mengetahui jumlah deposan.
Para nasabah bank kabarnya mulai ketar-ketir. Mereka merasa tak nyaman lagi menyimpan uangnya di produk perbankan seperti tabungan dan deposito. Sumber Kontan di sebuah bank nasional, Kamis (12/2/2015) mengatakan, banyak nasabah bank-nya menarik dana secara tiba-tiba bernilai miliaran rupiah. Usut punya usut, pemicunya adalah Peraturan Dirjen Pajak Nomor 01/PJ/2015.
"Mereka takut petugas pajak mendatanginya dan menyuruh merevisi laporan SPT PPh pajak, karena punya kekayaan lebih," si sumber, kemarin (12/2/2015).
Tanggapan bank
Maklum, masih menurut sumber tersebut, tidak semua nasabah mau melaporkan duitnya yang ada di deposito ke SPT PPh. Karena itu, dia menyayangkan kebijakan Ditjen Pajak. Apalagi, sebelumnya tak ada sosialisasi dari ditjen pajak kepada perbankan dalam menerapkan aturan ini.
Namun demikian, sejumlah bank yang dihubungi menanggapi peraturan dirjen pajak tersebut dengan beragam. Ada bank yang tidak khawatir dengan peraturan tersebut, namun ada pula bank yang tidak bisa menutupi kekhawatirannya.
Sekretaris Perusahaan BCA Inge Setiawati mengatakan para nasabah di BCA tidak menyampaikan kekhawatirannya. Sampai kemarin nasabah deposito di BCA dianggap masih cukup loyal. Namun demikian, Inge akan mengecek kepada para deposannya seputar peraturan pajak.
Tetapi bagi Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP, peraturan pajak berpotensi meresahkan deposan. Kata Parwati, perlu ada keselarasan mengenai aturan kewajiban melaporkan bukti pemotongan PPh giro dan deposito. Pasalnya, aturan ini akan berdampak terhadap bisnis bank. Terlebih, ada peraturan perbankan harus merahasiakan data nasabah. "Akan ada dampak psiokologis yang mungkin saja bisa terjadi," kata Parwati.
Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam membuat peraturan pajak agar tidak kontraproduktif. Ia setuju, ada potensi pajak yang cukup besar dari wajib pajak di industri perbankan. Tapi, perlu dipertimbangkan dampak kepercayaan nasabah terhadap bank. "Peraturan itu bisa membuat deposan tidak nyaman karena aparat pajak bisa mengetahui simpanannya di bank, ini bisa memicu pelarian simpanan ke luar negeri," kata Yustinus.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengakui, ada sejumlah aturan pajak yang dapat meresahkan masyarakat. Karena itu, ditjen pajak akan meninjau kembali aturan pajak yang meresahkan masyarakat. "Kita lihat nanti, apakah kebijakan itu akan kita pending atau diatur lebih lanjut," kata Sigit. (Adinda Ade Mustami, Andri Indradie, Asep Munazat Zatnika, Benedictus Bina Naratama, Margareta Engge Kharismawati, Nina Dwiantika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.