Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karya Baru, Desa Mati di Borneo

Kompas.com - 05/08/2015, 20:21 WIB
Estu Suryowati

Penulis

Dokumentasi PT Well Harvest Winning Alumina Refinary Pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit PT Well Harvest Winning Alumina Refinary (WHW), di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Rencananya pabrik ini mampu memproduksi smelter grade alumina (SGA) sebanyak 4 juta ton per tahun.

KETAPANG, KOMPAS.com – Sekilas tak ada yang aneh dengan Desa Karya Baru, Kecamatan Air Upas, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Laiknya desa-desa di luar Jawa pada umumnya, desa yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Bandara Rahadi Oesman itu sangat sepi. Tak nampak hiruk-pikuk aktivitas ekonomi di sana.

Namun, aktivitas tiga tahun lalu ternyata tak sehening kini. Salah seorang warga yang juga Kepala Desa Karya Baru, Suminto menuturkan, aktivitas ekonomi di desa berpenduduk 374 kepala keluarga itu dan desa-desa di sekitarnya sangat hidup.

Bahkan, kala itu, Karya Baru terbilang ramai untuk ukuran desa di luar Jawa mulai dari warung makan, warung kelontong, penyewaan mobil, sampai aktivitas utama di pertambangan bauksit.

Suminto mengaku, aktivitas pertambangan menjadi motor utama penggerak kegiatan ekonomi lain di sana, di samping perkebunan kelapa sawit. Banyak pemuda desa dan juga pendatang yang bekerja di pertambangan bauksit baik secara langsung maupun kontrak. Mereka bekerja di PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM).

Menurut Suminto, lima puluh persen warga Karya Baru bekerja di HPAM. Para pekerja ini membutuhkan makanan sehari-hari. Kebutuhan inilah yang mendorong bermunculan warung-warung. “Sebelum stop operasi ada sekitar 20 warung, tapi sekarang hampir semuanya tutup,” kata Suminto, Senin (3/8/2015).

Suminto mengakui penutupan HPAM memukul perekonomian warga desa baik langsung tak langsung. Operasi HPAM terhenti sejak 12 Januari 2014, akibat pelarangan ekspor mineral mentah (ore), sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 tahun 2014. Permen itu merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (minerba).

Tak hanya soal warung-warung yang tutup, Suminto mengatakan ada sekitar separuh jumlah warganya yang sejak saat penutupan operasi itu mendadak kehilangan pekerjaan. Beberapa di antaranya beralih ke perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan beberapa lagi memilih pindah ke luar daerah mencari pekerjaan.

Namun begitu, memilih pekerjaan sebagai buruh atau petani sawit pun, sambung dia, kini tak semenarik dulu. Pasalnya, harga kelapa sawit di pasaran global jauh melorot. Demikian pula dengan hasil dari perkebunan karet.

Dulu, ucap Suminto, harga karet mentah mencapai Rp 9.000 hingga Rp 11.000 per kilogram (kg). Kini harganya hanya Rp 4.500 - Rp 5.000 per kg. “Sekarang hasil tiga kg karet tidak cukup untuk (membeli) sekilo beras,” kata Suminto.

Suminto menambahkan, masalah kerawanan sosial juga muncul pasca-penutupan tambang. Salah satunya pencurian di perkebunan sawit.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com