Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Currency War", Siapa yang Jadi Pemenang?

Kompas.com - 03/09/2015, 16:48 WIB

NEW YORK, KOMPAS.com - Mayoritas mata uang dunia terhempas. Real Brazil, misalnya, sudah anjlok 28 persen versus dollar AS di sepanjang tahun ini. Sementara, lira Turki merosot 20 persen, peso Kolombia melorot 23 persen, dan rupiah Indonesia melemah 11 persen pada periode yang sama.

Bertepatan dengan kondisi tersebut, ada strategi ekstrem yang dipilih sejumlah negara dalam kebijakan mata uang mereka. Yakni, dengan memangkas nilai tukar mereka atau yang lazim dikenal dengan devaluasi mata uang.

China, contohnya. Pemerintah Negeri Panda ini mendevaluasi yuan sebesar 2 persen pada bulan lalu yang merupakan langkah terbesar dalam dua dekade terakhir. Sejumlah analis meyakini, motivasi utama dari kebijakan ini adalah untuk membuat ekspor China semakin menarik di mata pembeli internasional. Memang, mata uang yang lemah dapat mengerek ekspor, hingga pada akhirnya mendongkrak perekonomian.

"Saya tidak akan terkejut jika kita mengatakan pelemahan mata uang saat ini merupakan langkah untuk memperbaiki performa perekonomian dalam beberapa tahun ke depan," jelas Neil Shearing, chief emerging markets economist Capital Economics.

Meski demikian, dalam jangka pendek, pelemahan mata uang juga merefleksikan lemahnya fundamental sebuah negara.

Bahkan faktanya, pelemahan mata uang global yang dramatis menjadi momok krisis finansial Asia pada 1997 silam. Pada saat itu, krisis dipicu oleh devaluasi baht Thailand yang keok hingga 20 persen dalam kurun waktu sehari. Krisis tersebut menjalar ke pasar global dan mengguncang pasar saham dan tingkat kepercayaan investor di kawasan regional selama satu dekade.

Apa yang melatarbelakangi pelemahan mata uang?
Pelemahan mata uang yang terjadi belakangan ini terkait dengan anjloknya harga komoditas. Sejumlah negara, seperti Brazil, sangat mengandalkan komoditas ekspor seperti bijih besi, tembaga, kedelai, dan minyak.

Hampir seluruh komoditas tersebut sudah melorot ke level terendahnya dalam enam tahun terakhir pada tahun ini. Penyebabnya tak lain berasal dari melorotnya tingkat permintaan komoditas global, terutama dari China.

Perlambatan ekonomi China yang memicu tingkat permintaan komoditas dari negara ini semakin ini.

Berawal dari kondisi itu, nilai mata uang pun melemah bersamaan dengan harga komoditas.

Sentimen lain yang memperburuk kondisi ini adalah adanya potensi kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve. Selain itu, investor global juga menarik dananya dari aset-aset berisiko.

Sebenarnya, jika diatur dengan hati-hati, negara-negara yang mengalami pelemahan mata uang terbesar bisa mendapatkan keuntungan pada akhirnya. Sebab, ada dua cara di mana pelemahan mata uang dapat memacu pertumbuhan ekonomi.

Halaman:
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com