“Pemerintahan Jokowi-JK dapat dikatakan cukup berhasil dalam mengendalikan besaran anggaran subsidi BBM (bahan bakar minyak). Meskipun dalam hal ini ada inkonsistensi di dalam penerapan kebijakan evaluasi harga,” ujar Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Reforminers Institute, kepada Kompas.com, Jakarta, Selasa (20/10/2015).
Pri mengatakan, inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam evaluasi harga BBM sangat disayangkan, sebab menjadikan PT Pertamina (Persero) sebagai ‘bantalan’ untuk menanggung selisih-surplus dari perbedaan harga BBM yang ada atau keekonomian.
“Selain progress yang cukup signifikan dalam hal subsidi BBM tersebut, untuk sektor ESDM secara keseluruhan, saya melihatnya relatif belum ada langkah terobosan lain yang cukup konkret dan signifikan,” sambung Pri.
Lebih lanjut dia bilang, beberapa isu penting memang sudah disentuh, tetapi belum benar-benar substansial, karena cenderung lebih menonjolkan dimensi politis maupun pencitraan.
“Misal, pembubaran Petral yang sebetulnya pun sampai hari ini audit terhadapnya belum juga dilakukan,” ungkap Pri.
Di luar soal Petral, Pri juga menyoroti pendelegasian perizinan hulu minyak dan gas bumi (migas) satu pintu ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Ini hanya izin administratif yang sifatnya umum dan tidak langsung berhubungan dengan kegiatan operasi hulu migas,” sambung Pri.
Terakhir, Pri juga melihat masalah kelistrikan. Dia bilang, pemerintah telah cukup konsisten dalam penerapan reformasi subsidi dengan menerapkan penyesuaian tarif secara berkala.
“Sayangnya, proyek 35.000 megawatt cenderung dimensi politis dan populisnya terlalu dominan. Sementara angka tersebut sebenarnya lebih merujuk pada proyeksi kebutuhan dengan asumsi tertentu,” kata Pri.