Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut JK, Gabung dalam TPP Justru Tingkatkan Efisiensi

Kompas.com - 28/10/2015, 20:37 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai bahwa bergabungnya Indonesia dengan Trans Pacific Partnership (TPP) merupakan suatu cara untuk meningkatkan efisiensi nasional.

Efisiensi nasional diperlukan dalam rangka meningkatkan daya saing produk dalam negeri.

"Ya berarti kita harus efisien dong, daya saing itu ya hanya efisiensi. Ya itu juga dorongan untuk kita agar lebih efisien dibandingkan dengan negara lain," kata Kalla di Kantor Wapres, Rabu (28/10/2015).

Menurut Kalla, efisiensi perlu dilakukan di semua bidang produksi. Jika tidak demikian, produk Indonesia sulit memiliki nilai tawar tinggi dalam bersaing dengan produk negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam.

"Untuk pasar-pasar yang besar kita tidak akan mendapatkan keistimewaan, akhirnya bisa-bisa investasi untuk katakanlah industri-industri labour intensif (padat karya) akan beralih ke Vietnam, Malaysia," ujar Kalla.

Di samping itu, Indonesia hanya akan menjadi pasar empuk bagi negara-negara maju yang tergabung dalam TPP jika tidak mampu meningkatkan daya saing.

"Kalau kita tidak efisien, iya. Tetapi dalam banyak hal memang sekarang pun banyak barang-barang dari negara lain masuk ke Indonesia, tetapi kita juga kalau tidak akan makin sulit mngekspor ke banyak negara," ucap Kalla.

Wapres Kalla mengakui bahwa wacana masuknya Indonesia dalam TPP sempat ditolak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, lanjut Kalla, setelah dikaji kembali, pemerintah kini menilai perlunya untuk bergabung dalam TPP.

"Kalau tidak, nanti dalam persaingan-persaingan dengan negara ASEAN yang bergabung dengan TPP akan tidak seimbang untuk pasar Pasifik, pasar Amerika. Karena toh sebenarnya kita sudah punya persetujuan perdagangan bebas ASEAN dengan China dan juga dengan Jepang," ujar Kalla.

Ia membantah pemerintah terkesan terburu-buru dalam memutuskan akan bergabung dengan TPP. Kalla menyampaikan bahwa pemerintah masih dalam tahap menyatakan maksud untuk bergabung dan belum mendapatkan persetujuan.

"Amerika pun belum tentu disetujui juga tahun ini. Dibutuhkan waktu, kongres dan masa berlakunya bisa diatur," ucap Kalla.

Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati sebelumnya menilai Indonesia belum siap menghadapi dampak perdagangan bebas dari TPP. Apalagi, anggota TPP merupakan negara penggerak 40 persen ekonomi dunia.

Negara yang ikut dalam TPP di antaranya AS, Jepang, Australia, Selandia Baru, Kanada, Meksiko, Chile, dan Peru.

Selain itu beberapa negara-negara Asia Tenggara juga tergabung di dalamnya yakni Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Singapura.

Enny menilai, upaya pemerintah menggenjot produksi nasional baru dilakukan belum lama ini dengan berbagai insentif dalam paket kebijakan ekonomi. Namun ucap dia, hasil dari produksi tersebut belum terlihat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com