Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Enaknya Sembunyikan Harta di Luar Negeri, Mungkin Tak Akan Ada Lagi...

Kompas.com - 08/03/2017, 19:30 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah bukan rahasia umum, banyak warga negara Indonesia (WNI) menyimpan hartanya di luar negeri. Bahkan "kegemaran" itu sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu.

Banyak data yang bisa menggambarkan besarnya harta WNI di luar negeri. McKinsey misalnya, memperkirakan harta WNI di luar negeri sebesar Rp 3.250 triliun.

Namun pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, memiliki angka sendiri. Ditaksir, total harta WNI di luar negeri mencapai Rp 11.000 triliun.

Enaknya...

Kegemaran WNI menyimpan harta di luar negeri bukan tanpa alasan. Selain tarif pajak yang lebih rendah, menyimpan harta di luar negeri juga dinilai lebih aman lantaran kerahasiaan data nasabah yang super dijaga.

Namun di luar itu, rendahnya tarif pajak dan tingginya tingkat keamanan, dimanfaatkan untuk menyimpan uang haram hasil tindak pidana, termasuk korupsi.

Selain itu, menyimpan harta di luar negeri, terutama di negara-negara suaka pajak, memungkinkan WNI hanya membayar sedikit pajak.

Hal ini lantaran rendahnya tarif pajak. Bahkan uang itu bisa diputar untuk kepentingan bisnis melalui berbagai instrumen investasi yang ada di negara tersebut.

Harta-harta itu tidak pernah dilaporkan kepada negara. Akibatnya, potensi pajak negara menguap begitu saja. Hilang.

Sementara itu, si pemilik harta terus menumpuk kekayaannya tanpa perlu memenuhi kewajibannya membayar pajak di dalam negeri.

Ini hanya bagian kecil enaknya menyembunyikan harta di luar negeri.

Tetapi....

Cerita mudahnya menyembunyikan kekayaan di luar negeri mungkin tak akan ada lagi. Sebab bebentar lagi, dunia akan masuk era hitam-putih. Apa itu?

Era hitam-putih yang dimaksud yaitu era keterbukaan informasi untuk kepentingan perpajakan atau lebih dikenal dengan Automatic Exchange of Information (AEoI).

Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menuturkan, kebijakan ini sudah disepakati oleh sekitar 100 negara.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com