Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada laporan keuangan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tahun 2010 dan 2011. Opini WDP merupakan opini audit akuntansi yang paling bagus setelah opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Opini WDP diberikan karena sebagian besar informasi dalam laporan keuangan Kemenpora tahun 2010 dan 2011 dinilai bebas dari salah saji material. Memang ada ketidakwajaran dalam item tertentu, namun ketidakwajaran tersebut tidak memengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.
Belakangan diketahui terjadi penyelewengan anggaran yang cukup signifikan di Kemenpora pada tahun buku 2010 – 2011. Hasil penyidikan KPK tahun 2013 menyimpulkan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 471 miliar dalam proyek pembangunan sarana olahraga terpadu di Hambalang Bogor yang dilaksanakan Kemenpora dalam kurun 2010 – 2011.
Pertanyaannya, mengapa BPK memberikan opini WDP pada laporan keuangan Kemenpora tahun 2010 dan 2011 yang sarat penyelewengan? Mengapa BPK tidak memberikan Opini Tidak Wajar (TW) terhadap laporan keuangan tersebut?
Opini Tidak Wajar merupakan opini terburuk. Opini ini diterbitkan jika laporan keuangan mengandung salah saji material atau dengan kata lain laporan keuangan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Jika laporan keuangan mendapatkan opini jenis ini, berarti auditor meyakini laporan keuangan tersebut diragukan kebenarannya sehingga bisa menyesatkan pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan.
Apakah karena BPK tidak bisa mendeteksi adanya penyelewengan anggaran atau ada sebab lain?
Sepertinya tidak mungkin jika BPK tidak mampu mendeteksi adanya penyelewengan anggaran saat melakukan audit. Sebab, BPK bisa menelusuri seluruh transaksi keuangan dan menilai kewajarannya. Kalaupun laporan keuangannya direkayasa, dengan pengalaman dan kemahirannya, BPK pasti bisa mengetahuinya.
Masih banyak contoh yang menunjukkan ketidaksinkronan antara opini audit yang diberikan BPK dengan kondisi yang sebenarnya. Kalau begitu, apa gunanya audit laporan keuangan jika tidak bisa mendeteksi adanya penyelewengan anggaran? Bukankah audit dilakukan untuk memastikan anggaran sudah digunakan dengan sebenar-benarnya?
Dengan kondisi itu, wajar saja kemudian muncul banyak dugaan bahwa pemberian opini oleh BPK telah diperjualbelikan. Kementerian, lembaga pemerintah, pemerintah daerah (pemda), dan BUMN tentu menginginkan agar laporan keuangan institusinya mendapat predikat WTP atau sekurangnya WDP.
Sebab, predikat WTP akan memberikan kebanggaan dan menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah institusi dalam mengelola anggarannya.
WTP merupakan predikat terbaik yang bisa diberikan terhadap laporan keuangan. Opini ini diterbitkan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material.
Jika laporan keuangan diberikan opini jenis ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, institusi yang bersangkutan dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik.
Di sisi lain, BPK memonopoli pemberian opini untuk laporan keuangan kementerian, lembaga negara, pemda, dan BUMN. Tak ada pihak yang mengawasi atau menjadi pembanding kerja BPK. Kewenangan besar BPK yang tanpa pengawasan dan tuntutan kementerian/lembaga (KL) mendapatkan WTP akhirnya melahirkan praktik koruptif.
Seiring waktu, satu persatu kasus jual beli opini terungkap. Pada 2010, dua auditor BPK Provinsi Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto, divonis empat tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dengan maksud memberikan opini WTP terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Bekasi tahun 2009.